TT-20


kembali | lanjut

TT-20KAU sudah menyaksikan perang tanding yang aku lakukan di Ngadireja. Kau pun bahkan sudah mengalami perang tanding di Ngadireja dengan lawan yang sama dengan lawan yang aku hadapi”

“Ya”

“Sebenarnya kau sudah dapat membuat pertandingan serta perhitungan, serta perhitungan, apakah kau akan memaksakan perang tanding itu atau tidak. Jika kau memaksakan perang tanding itu, tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri, aku ingin memberimu peringatan, bahwa kau harus membuat pertimbangan beberapa kali lagi”

“Aku sudah memikirkannya masak-masak. Jika aku tidak memasuki pertarungan melawanmu dalam perang tanding, maka sia-sialah semua usahakan selama ini untuk menuntaskan ilmuku”

“Tidak. Kau tidak sia-sia meningkatkan ilmumu. Jika kau tidak meningkatkan ilmumu sampai tuntas, maka kau tentu sudah mati pada saat kau membenturkan Aji Pamungkasmu dengan ilmu Puncak Kiai Surya Wisesa. Tetapi justru karena kau sudah menuntaskan ilmumu, maka kau tetap hidup dan aku pun berhasil membantumu, mengobati luka-luka di bagian dalam tubuhmu”

Ki Sangga Geni itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Margawasana. Aku tidak boleh ragu-ragu. Aku datang untuk menantangmu. Apa pun yang akan terjadi, biarlah terjadi. Apakah aku akan mati atau aku akan terluka parah, aku tidak peduli. Tetapi aku harus memegang janjiku. Janji seorang laki-laki yang telah diucapkan setahun yang lalu”

“Apakah ada gunanya lagi, Ki Sangga Geni”

“Tentu. Aku tidak boleh menjilat ludahku kembali”

“Apa yang telah kau janjikan waktu itu?”

“Aku datang untuk membunuhmu setahun lagi”

“Jika kau tidak berhasil membunuhku? Bukankah perang tanding itu pun akan sia-sia pula? Jika karena itu kau terluka parah, sementara aku tidak mati, bukankah artinya sama saja, bahwa kau tidak menepati janjimu?”

“Sama dengan apa?”

“Sama dengan jika kau tidak berbuat apa-apa. Maksudku, sama saja dengan apabila tidak ada perang tanding sama sekali”

“Ki Margawasana. Aku bukan kau. Dan kau bukan aku. Itulah sebabnya maka sikapku pun akan berbeda dengan sikapmu, aku tahu, bagaimana kau mencoba untuk menghindari perang tanding melawan Kiai Surya Wisesa. Aku tahu pula bahwa bukan karena kau takut menghadapinya. Tetapi kau memang mencoba untuk tidak terjadi kekerasan. Tetapi aku akan bersikap lain. Jika aku mempunyai keyakinan atas kemampuanku seperti kau Ki Margawasana, aku tidak akan pernah mencoba membatalkan semua tantangan. Aku akan menjadi seperti Kiai Surya Wisesa untuk menyatakan kepada semua orang, bahwa aku adalah orang terbaik dalam olah kanuragan”

“Jika kau tahu perasaanku, kenapa kau masih juga memaksa-kan kehendakmu untuk bertarung?”

“Pertanyaan serupa dapat pula aku berikan kepadamu. Kenapa pula kau menolak tantanganku, karena seharusnya kau tahu bahwa aku memang menghendakinya”

Ki Margawasana menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah jika kau memang memaksaku. Tetapi kita masih mempunyai waktu. Kau dapat merenungkannya nanti malam dan esok sehari-semalam lagi. Baru sesudah kau mengambil keputusan bulat, aku akan melayanimu, apa pun keputusan mu”

“Kau tidak perlu mencoba mempengaruhi aku lagi. Keputus-anku sudah bulat. Bahkan aku akan tetap berperang tanding, apakah kau melawan atau tidak melawan. Jika karena itu kau akan mati, itu karena salahmu sendiri”

“Baiklah Ki Sangga Geni. Aku adalah manusia biasa seperti kau, seperti murid-muridku dan murid-muridmu. Karena itu, maka aku tidak akan dapat berlaku sebagai sosok malaikat yang putih bersih. Jika kau tetap akan membunuhku, maka sudah sewajarnya jika aku harus membela diri. Aku tentu akan memilih membunuhmu daripada kau membunuhku”

Jantung Ki Sangga Geni itu pun tergetar. Ki Margawasana tidak pernah berkata sekeras itu. Tetapi Ki Sangga Geni pun sadar, bahwa kesabaran Ki Margawasana tentu ada batasnya.

Namun untuk menyamarkan getar jantungnya Ki Sangga Geni itu pun berkata, “Bagus. Pernyataanmu seperti itulah yang aku tunggu”

Ki Sangga Geni pun kemudian meninggalkan Ki Margawasana untuk menemui kedua muridnya.

“Besok lusa, aku akan memasuki arena perang tanding melawan Ki Margawasana”

“Apakah Ki Margawasana telah memaksa guru untuk melawannya dalam perang tanding?” bertanya salah seorang muridnya.

“Bukan Ki Margawasana yang memaksakan kehendaknya untuk berperang tanding. Tetapi aku”

“Kenapa guru? Bukankah kita sudah dapat mengukur tataran ilmu Ki Margawasana”

“Kau akan mengatakan bahwa ilmunya lebih tinggi dari ilmuku sehingga aku tidak akan mampu melawannya?”

Kedua orang muridnya itu hanya dapat saling berpandangan.

“Sudahlah. Jangan hiraukan lagi. Aku datang kemari memang untuk menantangnya berperang tanding. Adalah tidak pantas jika aku mengurungkannya setelah aku tahu, bahwa tingkat kemampuannya sudah lebih tinggi dari tingkat kemampuanku. Bukankah dengan demikian berarti bahwa aku menjadi ketakutan untuk menghadapinya, sehingga untuk menyelamatkan diri aku membatalkan perang tanding itu?”

Seorang diantara kedua muridnya itu memberanikan diri bertanya, “Tetapi bukankah Ki Margawasana sendiri juga ingin membatalkannya?”

“Ia terlalu sombong. Kelak ia akan mengatakan bahwa aku telah mencabut tantanganku karena aku menjadi ketakutan”

“Guru” berkata muridnya yang lain, “menurut pengenalanku atas Ki Margawasana, agaknya Ki Margawasana bukan seorang yang terlalu membanggakan dirinya sendiri”

Ki Sangga Geni menarik nafas panjang. Katanya yang seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Ya. Ki Margawasana memang bukan seorang yang sombong. Tetapi lalu kenapa aku berada disini jika aku tidak menantangnya berperang tanding?”

“Tidak ada apa-apa” berkata salah seorang muridnya, “tiba-tiba saja kita sudah berada disini”

Ki Sangga Geni menarik nafas panjang. Namun Ki Sangga Geni itu pun kemudian melangkah pergi. Di luar sadarnya ia pun kemudian duduk di atas sebuah batu di pinggir belum-bang sambil memandangi berbagai jenis ikan yang berenang di dalam air yang jernih.

Kedua orang muridnya juga mengikutinya dan duduk pula di pinggir belumbang itu. Tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka sadar, bahwa gurunya memang sedang bingung. Namun menurut kedua orang murid Ki Sangga Geni itu, bukan Ki Margawasana lah yang sombong, tetapi Ki Sangga Geni lah yang ternyata seorang yang sangat sombong.

Sementara itu, didalam gubugnya, Ki Margawasana pun telah memanggil kedua orang muridnya pula. Pada saat-saat terakhir, Ki Margawasana menyadari, bahwa kemampuan Ki Udyana dan Wikan masih mampu ditingkatkan lagi. Ki Margawasana pun merasa perlu untuk mengangkat kedua muridnya itu sampai pada tataran tertinggi ilmunya sebagaimana dimiliknya sendiri.

“Udyana” berkata Ki Margawasana perlahan, “Ternyata kalian harus menambah bekal kalian dengan tataran tertinggi ilmu yang selama ini kita pelajari. Ki Sangga Geni pun telah menyempurna-kan ilmunya pula, meskipun ia memilih jalan sesat untuk sampai ke tujuan. Meskipun demikian aku masih berharap bahwa nurani Ki Sangga Geni masih belum tertutup, sehingga masih sempat menguak jaringan ilmu sesatnya untuk menyusupkan kesadaran kemanusiaannya. Ia tentu masih dapat melepaskan diri dari ikatan ilmu sesat itu meskipun dengan demikian, ia harus mengulangi setidaknya satu tahun untuk mencapai tataran sebagaimana dicapainya sekarang, namun terlepas dari ilmu iblisnya”

Ki Udyana dan Wikan hanya mengangguk-angguk saja.

“Karena itu Udyana dan kau Wikan. Aku ingin menyerahkan kitab itu segera kepada kalian berdua. Kalian harus dapat mempelajari tataran terakhir ilmumu dalam waktu setahun. Jika kalian berhasil, maka kalian akan mencapai tingkat sebagaimana aku capai sekarang. Bahkan dengan tenaga kewadagan kalian yang masih lebih muda daripadaku, sedangkan bekal-bekal kalian pun sudah lengkap, maka kalian tentu akan dapat menjalani laku kurang dari setahun, atau bahkan hanya separuh dari waktu yang seharusnya dibutuhkan untuk itu”

“Terima kasih atas kepercayaan guru kepada kami berdua sahut Ki Udyana sambil mengangguk hormat.

“Ternyata kalian sangat memerlukannya. Kalau aku masih belum memberikan kitab itu sebelumnya, maka aku berniat untuk menjajagi kemungkinan menjalani laku yang berat itu. Jika aku yang tua, dengan unsur kewadagan yang sudah mendekati senja masih sanggup melakukannya, maka kalian pun tentu akan sanggup pula melakukannya”

“Kami akan mencoba dengan sekuat tenaga serta kemampuan kami guru”

“Jangan ragu-ragu. Jalani laku yang ditunjukkan dalam kitab itu. Kau tidak perlu pergi kemana-mana. Segala sesuatunya dapat kau lakukan di dalam sanggar tertutup, sanggar terbuka serta di alam terbuka di sekitar padepokanmu itu”

“Ya, guru”

“Tetapi kalian harus menjaga agar mereka yang masih belum berhak untuk mendalami laku puncak itu, jangan mencoba-coba untuk menyadapnya. Mungkin karena ingin tahunya maka seseorang telah memperhatikan latihan-latihan yang kalian lakukan. Kemudian tanpa bimbingan yang pantas mereka mencoba melakukannya pula. Jika itu terjadi, maka laku itu akan membahayakan mereka yang mencobanya”

“Aku mengerti guru”

“Kelak, jika saatnya tiba, kalian berdua dapat memilih satu dua orang untuk mewarisi ilmu itu. Pilihan kalian bukan hanya sekedar melihat kemampuan dasar-dasar ilmu serta dukungan kewadagan semata-mata, tetapi lebih penting dari itu, adalah landasan kejiwaan mereka. Ilmu puncak itu tidak akan dapat dipergunakan untuk sembarang kepentingan, apalagi jika seseorang memasuki jalan sesat. Maka ilmu itu sendiri akan melakukan perlawanan, sehingga sangat membahayakan bagi orang yang merasa dirinya menguasainya.

Ki Udyana dan Wikan mendengarkan pesan-pesan itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali mereka pun mengangguk-angguk, sebagai isyarat bahwa mereka memahami pesan-pesan Ki Margawasana itu.

Malam itu, Ki Margawasana telah memberikan beberapa pesan terpenting kepada kedua orang muridnya, sementara seperti malam sebelumnya Ki Sangga Geni dan kedua orang muridnya lebih senang berada di luar.

“Bawa kitab itu jika kau kembali ke padepokan” berkata Ki Margawasana kepada kedua orang muridnya yang terdekat itu dengan demikian, maka aku berharap, bahwa orang yang berada di pucuk pimpinan padepokan kalian adalah orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya dan mampu melindungi seluruh padepokan itu dari kemungkinan buruk yang dapat saja datang setiap saat”

“Terima kasih guru. Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya bagi padepokan kita”

“Syukurlah. Dalam dua hari ini aku masih menunggu keputusan Ki Sangga Geni. Apakah ia benar-benar ingin berperang tanding atau penyelesaian yang lain. Jika saja ia menemukan sepeletik sinar terang di hatinya, maka aku berharap akan terjadi perubahan sikapnya. Mudah-mudahan nuraninya masih mampu melawan pengaruh iblis yang telah mencengkamnya”

“Mudah-mudahan guru”

“Aku harap bahwa kau tidak tergesa-gesa kembali ke padepokan. Tunggu sampai dua hari lagi”

“Tentu guru. Kami sama sekali tidak tergesa-gesa. Bahkan sampai kapan pun kami akan menunggu perintah guru”

Ki Margawasana tersenyum. Namun katanya, “Tetapi sebelum kalian beranjak pulang ke padepokan, biarlah kitab itu ada padaku lebih dahulu”

“Ya, guru” jawab Ki Udyana”

Malam itu, Ki Sangga Geni tidak ingin diganggu oleh murid-muridnya. Ki Sangga Geni justru telah menyendiri. Ia masih saja dililit oleh kebimbangan. Apa yang sebaiknya dilakukannya.

“Pada batas tertentu Ki Margawasana akan kehabisan kesabaran” berkata Ki Sangga geni didalam hatinya, “ia tentu tidak ingin mati seperti yang dikatakannya. Ia tentu memilih membunuh lawannya daripada dibunuh. Dan itu tentu akan dapat dilakukannya atasku, meskipun mungkin ia juga terluka sebagaimana saat ia bertempur melawan Kiai Surya Wisesa” Namun ternyata yang terpenting yang membuatnya bimbang, bukannya kematiannya. Bagi Ki Sangga Geni, kemungkinan mati dalam satu benturan kekerasan sama besarnya dengan kemung-kinan untuk hidup. Namun ada sesuatu yang tidak dikenalnya telah mulai bergetar di hatinya.

“Untuk apa sebenarnya aku berkelahi?”pertanyaan itu tiba-tiba saja telah menggelitik perasaannya.

Ki Sangga Geni itu pun menarik nafas panjang. Malam itu Ki Sangga Geni hanya dapat tidur menjelang dini di sebuah lincak panjang di kebun belakang.

Ia masih mempunyai waktu satu hari satu malam lagi untuk membuat pertimbangan-pertimbangan menjelang perang tanding melawan Ki Margawasana.

“Kenapa Ki Margawasana dapat menguasai dirinya untuk menghindari perkelahian”

Semakin lama hati Ki Sangga Geni itu menjadi semakin lunak. Apalagi ketika di hari itu ia melihat murid-muridnya yang sibuk mengerjakan berbagai pekerjaan bersama Wikan. Mereka seakan-akan sudah lama berkenalan dengan akrab.

Sehari penuh Ki Sangga Geni nampak lebih banyak merenung. Ada semacam benturan yang terjadi didalam dirinya.

Ketika malam kemudian turun lagi, maka Ki Sangga Geni itu telah pergi menyusup diantara pepohonan di bukit kecil itu. Dihadapan sebatang pohon yang besar, Ki Sangga Geni itu berlutut. Seakan-akan ia berlutut dihadapan patung wajah iblis didalam goa di dekat padepokannya.

Dengan memusatkan nalar budinya, Ki Sangga Geni itu seakan-akan melihat wajah iblis itu melekat pada sebatang pohon raksasa dihadapannya itu.

Beberapa saat kemudian, ia melihat mata wajah iblis itu bagaikan menyala. Kemudian dari mulutnya terjulur lidah api. Dalam pemusatan nalar budi itu, pohon raksasa yang ada di hadapannya itu bagaikan terguncang. Wajah yang melekat di pohon itu seakan-akan telah memancarkan api.

Telinga Ki Sangga Geni itu pun kemudian mendengar suara dengan nada geram melingkar-lingkar di sekitarnya, “Kau mulai menjadi pengecut, Sangga Geni”

“Tidak Iblis Yang Mulya. Aku memang bimbang. Tetapi bukan karena aku menjadi pengecut. Tetapi aku menjadi terlalu bodoh sehingga aku tidak tahu lagi, untuk apa aku berkelahi esok pagi. Jika aku datang untuk membalas kekalahanku setahun yang lalu, maka niat itu pun akan sia-sia, karena sekarang aku tentu akan kalah lagi dan bahkan mungkin aku akan mati, Iblis Yang Mulia. Dengan demikian, maka bukankah perang tanding yang sudah aku tunggu setahun itu tidak akan berarti apa-apa? Bahkan segala-galanya akan sia-sia”

“Tidak. Kau tidak akan pernah kalah melawan siapapun”

“Iblis Yang Mulia juga pernah berkata begitu. Tetapi menghadapi Kiai Surya Wisesa aku juga kalah. Bahkan aku hampir mati. Jika saat itu aku tidak diselamatkan oleh Ki Margawasana, maka aku tentu sudah mati. Lalu apa artinya ilmu yang telah Iblis Yang Mulia berikan kepadaku. Apalagi jika besok aku harus bertempur melawan Ki Margawasana”

“Tidak. Kau harus bertempur melawannya. Kau harus membunuhnya. Kau sudah menunggu setahun untuk melakukan-nya. Kau. tidak boleh melangkah surut”

“Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan Iblis yang Mulia. Aku telah dikalahkan oleh Kiai Surya Wisesa”

“Tidak. Jika kau mendapat kesempatan lagi, maka kau akan dapat mengalahkannya”

“Tidak akan ada kesempatan lagi. Surya Wisesa sudah mati. Yang ada tinggal Ki Margawasana”

“Bunuh Margawasana”

“Untuk apa sebenarnya aku membunuhnya, Iblis yang Mulya. Bahkan mungkin justru akulah yang terbunuh. Bahkan seandai-nya aku dapat membunuhnya, apakah keuntunganku?

“Bukankah kau berniat membalas kekalahanmu setahun yang lalu?”

“Setahun itu sudah terlalu lama”

“Tidak. Kau tidak boleh lemah. Kau harus dapat membunuh-nya. Bukankah aku sudah memberimu kekuatan yang tidak terlawan?”

“Ketika aku bertempur melawan Kiai Surya Wisesa, kekuatan puncak itu pun sudah aku kuasai. Tetapi aku tetap saja kalah dan akan mati”

“Cukup. Kau tidak boleh merajuk. Kau harus bangkit. Esok kau akan bertempur melawan Ki Margawasana”

Namun tiba-tiba terdengar suara angin prahara yang gemerasak menerjang dedaunan. Pohon-pohon pun segera terguncang. Ranting-ranting berpatahan.

Semula Ki Sangga Geni menyangka bahwa kekuatan Iblis Yang Mulya itulah yang telah membuat bukit itu seakan-akan diguncang gempa. Namun sejenak kemudian, ia justru melihat wajah iblis itu bagaikan menjadi ketakutan.

“Sangga Geni. Apa yang terjadi?”

Ki Sangga Geni itu termangu-mangu. Tetapi ia sadar, bahwa yang mengguncang bukit itu bukan kekuatan Iblis yang Mulya.

Pepohonan raksasa itu pun kemudian bagaikan diputar angin putar beliung yang dahsyat telah melanda bukit kecil itu.

Wajah Iblis yang matanya bagaikan menyala itu ternyata tidak berdaya menghadapi goncangan-goncangan yang dahsyat. Bahkan pohon raksasa tempat wajah itu menempel pun telah berguncang pula.

“Sangga Geni, Sangga Geni. Kau ada di mana?”

“Guru, Iblis Yang Mulia. Aku ada disini”

“Tolong aku Sangga Geni. Tempat aku melekatkan diri ini telah terguncang-guncang. Aku menjadi kesakitan”

“Guru Iblis yang Mulya. Apa yang terjadi”

“Angin putar beliung. Aku tidak mampu mengatasinya. Tolong aku, Sangga Geni. Tolong aku”

“Bagaimana aku dapat menolong guru. Bahkan aku akan minta tolong kepada guru”

“Tolong aku, tolong aku” pohon raksasa itu benar-benar telah terguncang, sehingga daunnya pun telah berguguran.

Wajah Iblis itu pun nampak benar-benar menjadi ketakutan. Nyala di matanya yang kemerah-merahan itu sudah padam. Lidah apinya pun tidak lagi menyembur dari mulutnya.

“Guru, Iblis yang Mulya. Apa yang terjadi?”

Suara wajah yang disebut Iblis Yang Mulia itu pun menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya wajah itu bagaikan tersayat dan hanyut berserakan.

“Iblis Yang Mulia” panggil Ki Sangga Geni. Tetapi wajah Iblis Yang Mulia itu pun telah hancur.

Prahara itu masih berlangsung beberapa saat. Angin putar beliung masih saja memutar pepohonan serta dahan dan dedaunan. Suaranya gemerasak seperti lampor yang mendahului banjir bandang menjelang senja hari.

Sejenak kemudian, perlahan-lahan maka angin putar beliung itu pun menjadi semakin perlahan. Semakin lama semakin lunak, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

Yang ada dihadapan Ki Sangga Geni adalah sebatang pohon raksasa. Wajah Iblis Yang Mulia itu sudah tidak ada lagi.

Namun tiba-tiba saja terdengar suara seseorang yang bertanya, “Ada apa. Ki Sangga Geni?”

Ketika Ki Sangga Geni berpaling, maka diantara pohon-pohon raksasa ia melihat sosok seseorang yang berdiri tegak.

“Ada apa Ki Sangga Geni?” pertanyaan itu terdengar lagi.

Ki Sangga Geni pun kemudian dapat mengenali suara itu. Ia pun kemudian telah bergumam, “Ki Margawasana”

“Ya”

“Kaulah yang telah bermain dengan angin prahara itu? Kau telah menghancurkan pepundenku, wajah Iblis Yang Mulia”

“Dimanakah wajah Iblis Yang Mulia itu?”

“Disini. Melekat pada batang pohon raksasa ini”

“Kau bermimpi. Tidak ada wajah siapa-siapa. Yang ada di hadapanmu itu adalah sebatang pohon raksasa. Pohon nyamplung yang umurnya sudah lebih dari seratus tahun”

“Wajah itu ada disini”

“Tidak”

“Aku melihatnya. Aku berbicara dengan wajah itu”

“Tidak. Kau tidak melihat apa-apa. Tetapi kekuatan angan-anganmulah yang mewujudkan gambaran wajah itu.

“Bukan kekuatan angan-anganku. Mata wajah Iblis Yang Mulya itu menyala”

“Kau yang menyalakannya”

“Dari mulutnya menjulur lidah api”

“Ilmumu adalah ilmu yang kau sadap dari inti kekuatan api”

“Siapakah yang mengajarkan aku menjalani laku untuk menguasai ilmu itu?”

“Apakah kau pernah mempunyai kitab yang memuat ajaran tentang ilmumu itu?”

“Ya. Tetapi kitab itu sudah disentuh lidah Iblis Yang Mulia sehingga terbakar menjadi debu”

“Kau sendirilah yang membakarnya”

“Aku?”

“Ya. Kau. Renungkan kembali apa yang pernah terjadi padamu. Pada laku yang pernah kau jalani. Lihatlah dengan mata hatimu yang terang. Bukan mata hatimu yang buram karena kau telah kehilangan kepribadianmu. Kau telah menyerahkan dirimu sendiri kepada iblis, sedangkan kau sendirilah yang telah membiarkan iblis itu menguasai hatimu, menguasai perasaanmu dan akhirnya seluruh kepribadianmu”

Ki Sangga Geni itu pun termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Margawasana itu pun berkata, “Aku mencoba membantumu, memisahkan kau dengan berhala yang telah kau ciptakan sendiri. Sekarang, kau mempunyai kesempatan untuk kembali ke kepribadianmu. Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap membiarkan dirimu diperbudak oleh berhala yang kau ciptakan sendiri, atau kau ingin bangkit dan menguasai dirimu sendiri”

Ki Sangga Geni itu pun telah dicengkam oleh kebimbangan. Seandainya Iblis Yang Mulia itu telah datang kepadanya dan hinggap pada sebatang pohon nyamplung raksasa itu, maka Iblis Yang Mulia itu sudah dikalahkan oleh Ki Margawasana.

Ki Margawasana itu pun kemudian membiarkan Ki Sangga Geni merenungi dirinya sendiri. Ditinggalkannya Ki Sangga Geni yang dicengkam oleh kebimbangan itu.

Malam itu, Ki Sangga Geni sama sekali tidak dapat tidur sekejap pun. Ia masih saja duduk menghadapi sebatang pohon nyamplung raksasa itu.

Baru di dini hari, salah seorang muridnya memberanikan diri untuk memanggilnya perlahan, “Guru. Guru”

Ki Sangga Geni menarik nafas dalam-dalam.

“Aku menjadi semakin bingung. Siapakah aku dan apa yang harus aku lakukan?”

“Apakah sebaiknya guru kembali ke padepokan?”

“Besok adalah hari yang sudah ditentukan untuk melakukan perang tanding. Tetapi aku sekarang tidak tahu lagi, apakah gunanya perang tanding itu”

“Jika guru mau mendengarkan pendapat kami, sebaiknya guru membatalkan perang tanding itu sebagaimana diusulkan oleh Ki Margawasana. Perang tanding itu sendiri sama sekali tidak menguntungkan guru. Kita semuanya tahu, tataran ilmu Ki Margawasana. Bukan maksudku untuk mendorong agar guru menjadi ketakutan. Kami tahu, bahwa guru tidak akan gentar menghadapi kematian sekalipun. Tetapi jika kemungkinan buruk itu dapat disingkirkan tanpa mengorbankan harga diri, apakah salahnya?”

Ki Sangga Geni sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar menelusuri perjalanannya sejak ia merasa dirinya tidak terkalahkan oleh siapa pun juga, setelah ia menuntaskan ilmunya di hadapan Iblis Yang Mulia.

Ia telah membunuh beberapa orang yang tidak mau tunduk kepadanya. Bahkan ia telah membunuh orang yang menyebut dirinya Kiai Pentog. Namun ketika ia sampai di pesisir Utara dan menemui saudara seperguruannya yang ingin dikalahkannya, maka ia telah menemukan keadaan saudara tua seperguruannya yang sudah berubah. Kakak seperguruannya yang ingin dikalahkannya itu sudah menjadi cacat. Tetapi kakak seperguru-annya itu justru merasa bahagia dengan cacatnya. Karena setelah ia menjadi cacat, maka ia tidak lagi menjadi manusia segarang serigala lapar.

Kini, setelah ia harus mengakui bahwa ia bukan orang yang tidak terkalahkan, setelah ia hampir mati dibunuh Kiai Surya Wisesa, guru Kiai Pentog. Jika saja Ki Margawasana tidak ikut campur, maka ia tentu sudah terkapar mati di arena pertempuran di Ngadireja.

Tetapi Ki Margawasana itu telah menyelamatkannya.

Sesuatu telah bergejolak di jantung Ki Sangga Geni. Tiba-tiba saja Ki Sangga Geni itu bangkit berdiri. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka ia melihat dari sela-sela dedaunan, bahkan langit sudah menjadi merah. Sebentar lagi fajar akan menyingsing.

“Aku harus menemui Ki Margawasana” geram Ki Sangga Geni.

“Untuk apa guru?” bertanya muridnya.

Tetapi Ki Margawasana tidak menjawab. Ia pun dengan tergesa-gesa pergi ke rumah yang berada di puncak bukit kecil itu.

Ketika ia berdiri di depan rumah itu, pintu rumah itu sudah terbuka. Ki Margawasana sudah menyapu halaman depan. Sementara Ki Udyana menimba air mengisi pakiwan, sedangkan Wikan berada di dapur.

“Ki Margawasana” berkata Ki Sangga Geni setelah ia berdiri di hadapan Ki Margawasana, “hari ini aku berjanji untuk menantangmu berperang tanding”

Ki Margawasana yang masih memegang sapu lidi bergagang bambu cendani menarik nafas panjang.

“Lalu, apa yang kau kehendaki?” bertanya Ki Margawasana.

“Ki Margawasana. Ternyata aku adalah seorang pengecut. Ternyata aku tidak berani lagi memasuki arena perang tanding itu. Aku sama sekali tidak takut mati. Tetapi aku tidak tahu, bahwa ada sesuatu yang telah mencegahku, yang aku tidak berani melanggarnya. Karena itu, aku minta maaf, bahwa aku sangat mengecewakanmu. Aku mencabut tantanganku”

Ki Margawasana menarik nafas panjang. Dengan nada berat ia pun berkata, “Syukurlah, Ki Sangga Geni. Agaknya telah memancar sinar terang di hatimu. Pada saat-saat terakhir kau telah melihat jalan yang seharusnya kau lalui. Aku menjadi sangat gembira, bahwa aku tidak harus memasuki perang tanding serta mempertaruhkan nyawa. Sedang persoalannya tidak jelas sama sekali dan tidak pantas untuk ditebus dengan kematian salah seorang diantara kita. Kau atau aku”

“Yang pasti Ki Margawasana, jika perang tanding itu berlangsung, maka akulah yang akan mati. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, bukan kematian itulah yang aku cemaskan”

“Aku mengerti. Gejolak yang terjadi di dalam jantungmu itu adalah pertanda, bahwa kau telah terenggut dari kuasa iblis itu. Sekarang kau telah berhasil memiliki kepribadianmu kembali. Kau akan lebih banyak berbicara dengan nuranimu sendiri daripada berbicara dengan iblis”

“Aku mengerti, Ki Margawasana. Karena itu, maka aku akan minta diri. Aku dan kedua orang muridku akan kembali ke padepokanku. Mudah-mudahan aku benar-benar telah berubah, sehingga wibawaku akan dapat merubah pula sifat dan watak dari isi padepokanku. Aku tahu, bahwa untuk melakukannya tentu akan terasa sangat sulit. Mungkin untuk beberapa lama aku harus berhadapan dengan beberapa orang muridku yang sulit untuk menerima perubahan ini. Tetapi aku harus dapat melakukannya. Sementara kedua orang muridku yang ikut aku ke bukit ini, agaknya justru telah mendahului aku. Aku berharap bahwa mereka akan sangat membantuku kelak”

“Aku mengagumimu, Ki Sangga Geni. Kau ternyata tanggap akan perubahan yang memang seharusnya terjadi atas dirimu dan seluruh isi padepokanmu. Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik sesuai dengan niatmu yang baik pula. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa meninggalkan bukit kecil ini. Kau dapat beristirahat disini hingga kapan saja kau mau”

“Hari ini adalah hari yang pijakanku terasa sangat goyah. Sekarang aku melihat terang di jalanku. Tetapi jika tiba-tiba saja hatiku kembali dibalut awan yang gelap, maka aku masih akan dapat berubah selagi hari ini masih berada dalam batasan hari tantanganku. Jika hari ini telah lewat, maka segala sesuatunya akan dapat lebih terkendali”

“Ki Sangga Geni. Justru saat-saat seperti ini akan dapat menjadi ujian bagimu. Seberapa jauh kau dapat menguasi dirimu sendiri. Seberapa jauh kau mampu berpijak pada sikap bijaksanamu. Jika hari ini kau lulus, itu berarti bahwa pijakanmu telah menjadi kokoh. Pada kesempatan lain, hatimu tidak lagi mudah goyah oleh godaan apapun. Bahkan godaan iblis sekalipun”

“Tetapi jika aku gagal?”

“Jika kau gagal, biarlah kau gagal hari ini disini. Mungkin aku masih dapat memberimu peringatan. Tetapi jika kau gagal menguasai dirimu di tempat lain tanpa ada orang yang dapat mengendalikannya, maka kau akan menjadi orang yang sangat merugikan sesamamu. Kau akan menjadi orang yang memusuhi sesamamu sebagaimana dilakukan oleh Kiai Pentog”

Ki Sangga Geni menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berkata dengan suara yang lemah, “Baiklah Ki Margawasana. Aku akan mendengarkan kata-katamu. Meskipun umur kita tidak berselisih terlalu banyak, tetapi di hadapanmu aku tidak lebih dari anak-anak yang baru belajar berjalan dan berbicara. Tetapi justru karena itu, aku akan berterima kasih kepadamu. Kapan-kapan aku akan pergi lagi ke pesisir Utara untuk menemui saudara tua seperguruanku”

“Untuk apa?”

“Aku akan menunjukkan kemenanganku. Jika kakak seperguruanku itu menghentikan kejahatannya setelah ia menjadi cacat dan tidak mampu lagi melakukannya, maka kemenanganku terletak pada kemampuanku untuk berhenti, setidak-tidaknya pernah terpercik sinar terang di hatiku sehingga kau berniat untuk berhenti berbuat jahat dalam keadaanku yang utuh. Sementara kemampuanku masih berada di puncak meskipun aku tidak dapat menyamaimu”

“Belum tentu, Ki Sangga Geni. Tanpa bantuan berhala yang kau ciptakan sendiri di angan-anganmu yang gelap dan kotor itu, kau justru akan dapat melihat lebih terang, sehingga dengan jernih kau akan dapat semakin meningkatkan ilmu yang sudah kau kuasai, yang sudah kau cuci dengan janjimu di dalam hati, disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Suci, bahwa kau akan berubah”

Ki Sangga Geni menarik nafas panjang. Akhirnya ia pun berkata, “Ki Margawasana. Aku akan tinggal disini untuk beberapa hari lagi sebelum aku kembali ke Gunung Sumbing”

Demikianlah, maka Ki Sangga Geni itu pun telah memberitahukan kepada kedua orang muridnya, bahwa ia masih akan berada di bukit kecil itu beberapa hari lagi.

Kepada kedua orang muridnya itu Ki Sangga Geni telah membuka hatinya selebar-lebarnya. Ia telah memberikan pengakuan tentang gejolak yang terjadi di dalam dirinya, la pun telah mengaku, bahwa Iblis Yang Mulia yang selama ini dianggap sebagai sumber ilmunya, ternyata telah dihancurkan oleh Ki Margawasana. Sehingga dengan demikian, Ki Sangga Geni justru telah berpijak kepada kepribadiannya sendiri.

“Aku tahu, bahwa kalian justru telah berjalan di depanku. Kalian telah melihat terang itu lebih dahulu dari aku, karena rasa-rasanya aku telah terikat kepada berhala yang aku ciptakan sendiri didalam angan-anganku”

Kedua orang muridnya itu hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tidak berani memberikan tanggapan atas sikap gurunya itu, karena mereka belum yakin, apakah sebenarnya yang telah mendorong gurunya itu mengatakan perubahan sikapnya kepada mereka. Apakah gurunya benar-benar berubah, atau sekedar menjajagi perasaan kedua orang muridnya itu.

Meskipun kedua orang muridnya itu menduga, bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya itu muncul dari sikapnya yang tulus, tetapi kedua orang yang mengenali sikap dan watak Ki Sangga Geni sebelumnya, mereka masih saja dicengkam oleh keraguan.

Tetapi sebenarnyalah, bahwa apa yang dikatakan oleh Ki Sangga Geni itu bukan sekedar dibuat-buat. Kedua orang murid Ki Sangga Geni itu benar-benar telah melihat perubahan, meskipun masih samar di dalam diri gurunya.

Seperti yang dikatakan sendiri oleh Ki Sangga Geni, bahwa jika ia berhasil melampaui hari yang mendebarkan itu, maka ia tentu benar-benar sudah berubah. Karena itu, pada hari kedua ia berada di bukit kecil setelah hari yang menegangkan itu, keadaan Ki Sangga Geni sudah berbeda.

“Kau lihat guru tersenyum dengan tulus?” bertanya seorang muridnya kepada saudara seperguruannya.

“Ya. Biasanya wajah guru tidak secerah hari ini. Jika sekali-sekali guru tertawa terbahak-bahak, justru nada tertawanya adalah nada yang pahit”

“Mudah-mudahan guru benar-benar melihat kenyataan yang telah terjadi di Ngadireja dan kenyataan-kenyataan berikutnya”

Meskipun dengan penuh harapan bahwa akan terjadi perubahan pada gurunya, namun keduanya sama sekali tidak berani menyebutnya di hadapan gurunya.

Sebenarnyalah bahwa telah terjadi perubahan di dalam diri Ki Sangga Geni. Demikian ia menanggalkan kiblatnya kepada kuasa kegelapan, maka ia pun segera memasuki suasana yang baru. Rasa-rasanya hari menjadi semakin cerah. Sinar matahari menjadi semakin terang, sementara kicau burung yang sebelumnya terdengar bagaikan umpatan-umpatan kasar, sejak hari itu, siulan burung di cabang-cabang pepohonan terdengar bagaikan dendang yang lembut.

“Tiba-tiba saja dunia pun telah berubah” berkata Ki Sangga Geni didalam hatinya.

Demikianlah, maka Ki Sangga Geni itu pun telah menjadi kerasan tinggal di atas bukit. Ia merasakan betapa tenang dan tenteramnya kehidupan di atas bukit kecil itu. Bahkan Ki Sangga Geni hampir melupakan, bahwa bukit itu bukan miliknya.

Tetapi Ki Sangga Geni dan kedua orang muridnya itu masih saja tidak mau tidur di dalam rumah Ki Margawasana yang memang tidak terlalu besar itu. Bertiga mereka tidur bertebaran di mana saja mereka menjatuhkan diri pada saat mereka sudah mengantuk di malam hari. Namun, demikian mereka berbaring, maka mereka pun segera tertidur pula. Rasa-rasanya hidup mereka sudah tidak lagi dibelit oleh persoalan-persoalan duniawi yang membuat mereka menjadi garang.

Meskipun demikian, akhirnya Ki Sangga Geni itu pun menyatakan keinginannya untuk pulang ke Gunung Sumbing.

“Aku akan membuat padepokanku seperti lingkungan di bukit kecil ini. Di Gunung Sumbing aku juga mempunyai lingkungan yang tentu dapat aku buat senyaman lingkungan ini. Ada perbukitan yang penuh dengan pepohonan. Air pun tidak terlalu sulit untuk mengisi belumbang-belumbang yang akan aku buat. Pertamanan diantara pohon-pohon raksasa”

“Tentu Ki Sangga Geni” sahut Ki Margawasana, “lingkungan seperti ini dapat dibuat dimana saja. Lingkungan Ki Sangga Geni kelak akan dapat mencerminkan nafas kehidupan jiwani Ki Sangga Geni serta para muridnya.

“Doakan saja Ki Margawasana. Semoga aku tidak akan terjerumus kembali ke dalam duniaku”

“Ki Sangga Geni akan dapat menjaga diri. Maksudku, bukan sekedar unsur kewadagan, tetapi juga unsur kajiwan. Seandainya orang-orang yang masih berpegang pada ilmu-Sangga Geni jangan kehilangan lagi kepribadian Ki Sangga Geni yang sudah kau ketemukan itu”

“Aku mengerti maksudmu, Ki Margawasana. Orang-orang yang setahun yang lalu datang bersamaku ke padepokanmu, yang masih mendapat kesempatan hidup, tidak akan pernah melupakannya. Memang mungkin sekali mereka datang kepadaku, termasuk Alap-alap Perak. Tetapi doakan saja, agar aku tetap tegar memegang sikapku seperti yang sekarang ini”

“Aku percaya kepadamu, Ki Sangga Geni”

Demikianlah, maka akhirnya Ki Sangga Geni pun telah meninggalkan bukit kecil yang tenang dan tentram itu bersama kedua muridnya. Di sepanjang jalan Ki Sangga Geni pun selalu membicarakan tentang sikapnya bersama kedua orang muridnya.

“Apakah kau kecewa terhadap sikapmu itu? Sikap guru sebuah perguruan yang tidak runtut, karena tiba-tiba saja telah menggagalkan sebuah janji yang pernah diucapkan?”

“Tidak, guru. Kami justru mensyukuri sikap seorang guru yang tidak meninggalkan kenyataan yang dihadapinya”

“Mungkin kau tahu, apa yang telah terjadi di Ngadireja. Kematian Kiai Pentog, perang tanding yang hampir saja membunuhku melawan Kiai Surya Wisesa. Kemudian perang tanding antara Ki Margawasana melawan Kiai Surya Wasesa. Tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak melihat kenyataan yang dapat merubah sikap dan pandangan hidup mereka”

“Guru dan kami berdua akan dapat memberikan kesaksian kita guru”

“Tetapi akan sangat berbeda dengan mereka yang melihat kenyataan itu sendiri sebagaimana kalian berdua.

“Memang guru. Tetapi lambat laun, mereka akan dapat mengerti. Sementara itu, mereka yang tidak mau mengerti, maka mereka akan dapat meninggalkan padepokan kita di kaki Gunung Sumbing itu”

Ki Sangga Geni mengangguk-angguk. Namun untuk beberapa lama mereka sempat merenungi beberapa kemungkinan yang akan terjadi di padepokan mereka.

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Sangga Geni Ki Margawasana mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk membuka pintu nalar budi kedua muridnya untuk merambah ke laku terakhir pada tataran tertinggi ilmu yang dikuasinya. Di sanggar tertutup, bahkan di sanggar terbuka, Ki Margawasana telah memberikan beberapa petunjuk agar kedua muridnya itu menjadi lebih cepat menguasai ilmu pada tataran tertinggi itu.

“Jika kalian kembali ke padepokan, bawa kitab itu. Tetapi kalian berdua harus menjadi sangat berhati-hati menyimpannya. Orang yang menguasai ilmu dari kitab itu pada tataran tertinggi, akan memiliki ilmu yang jarang ada duanya, meskipun aku tetap berpendapat bahwa yang betapa pun tingginya masih saja ada yang lebih tinggi atau masih tetap saja mempunyai kelemahan-kelemahannya yang akan memungkinkan orang itu dapat dikalahkan. Bahkan oleh mereka yang dianggap lemah sekalipun”

“Kami mengerti guru”

“Jika ilmu yang tercakup didalam kitab itu pada tataran tertinggi dapat dikuasai oleh seorang yang tidak bertanggungjawab, maka ilmu itu justru akan dapat mendatangkan bencana”

“Ya, guru”

“Karena itu, sekali lagi aku pesan, kalian harus berhati-hati sekali. Kelak, jika kalian ingin mewariskan ilmu itu, kalian harus memilih dengan sangat teliti. Kalian tidak perlu tergesa-gesa, karena ilmu kalian pada dasarnya sudah dapat diandalkan. Ilmu puncak pada tataran tertinggi itu hanya diperlukan pada saat yang paling gawat”

Demikianlah, maka beberapa hari kemudian, Ki Udayana dan Wikan pun telah minta diri. Ki Margawasana tidak menahan mereka lebih lama lagi, karena padepokan mereka tentu sangat memerlukan keberadaan Ki Udayana dan Wikan.

Karena itulah, maka di hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Ki Udayana dan Wikan pun telah mempersiapkan diri untuk meninggalkan bukit kecil itu, kembali ke padepokan.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Margawasana, maka kitab yang sangat berharga, yang memuat ilmu pada tataran terakhir dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Udayana itu telah diserahkan kepada Ki Udayana.

“Jaga kitab ini baik-baik. Bukan sekedar ujud kewadagan kitab ini. Tetapi juga isi serta makna yang terkandung didalamnya. Kitab ini bukan sekedar ujud yang aku serahkan kepadamu. Buka pula sekedar ilmu yang sangat tinggi yang dapat kalian capai dengan laku yang berat. Tatapi juga arti dari penguasaan ilmu itu bagi sesama”

“Ya, guru. Kami mengerti”

“Meskipun kau kuasai ilmu itu dengan sangat baik, tetapi ilmu tidak akan banyak berarti jika tidak kau amalkan terhitung muda, yang mungkin darahnya masih lebih panas daripada pamanmu Udayana. Namun kemudaanmu akan memberikan kesempatan kepadamu lebih luas daripada pamanmu untuk mengamalkan ilmu itu. Selebihnya, penguasaan ilmu itu tidak akan dapat terpisah dari kedekatan kalian Sang Maha Pencipta”

Keduanya pun mendengarkannya dengan sungguh-sungguh serta berjanji di dalam hati untuk sejauh mungkin dapat melakukan pesan-pesan gurunya itu.

Ketika kemudian langit menjadi semakin cerah, maka keduanya pun telah siap untuk berangkat.

Setelah minum minuman hangat serta makan ketela pohon rebus yang masih mengepul, maka keduanya pun telah meninggalkan bukit kecil itu.

Sejenak kemudian, ketika mereka telah berada di bulak yang panjang dan masih sepi, maka mereka pun telah melarikan kuda mereka lebih kencang. Tetapi demikian mereka memasuki jalan yang lebih ramai, maka mereka pun sedikit memperlambat lari kuda mereka. Bahkan Ki

Demikianlah, maka akhirnya Ki Sangga Geni pun telah meninggalkan bukit kecil yang tenang dan tenteram itu bersama kedua muridnya. Di sepanjang jalan Ki Sangga Geni pun selalu membicarakan tentang sikapnya bersama kedua orang muridnya.

Udyana dan Wikan sempat memperhatikan hamparan sawah yang luas sekali. Sementara padinya yang mulai menguning bergoyang disentuh angin pagi yang lembut, sehingga nampak seperti gelombang kecil yang mengalir dari tepi sampai ke tepi.

“Di musim panen, padi akan melimpah di daerah ini” gumam Ki Udyana.

“Ya” Wikan mengangguk-angguk, “Jika saja para petani tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang sangat mementingkan diri sendiri, maka para petani itu tidak akan kekurangan di masa peceklik sekalipun”

Tetapi kadang-kadang para petani itu sering terjebak kedalam bujukan-bujukan yang sangat merugikan mereka. Para tengkulak hasil bumi kadang-kadang dengan licik telah menaburkan uang pinjaman sebelum padi itu dipetik. Pinjaman dengan bunga yang tinggi atau para petani harus mengembalikan dengan hasil sawah. Bahkan kadang-kadang pinjaman itu berujud barang-barang yang tidak banyak berarti bagi mereka kecuali sekedar sebagai satu kebanggaan. Tetapi mereka tidak mengingat bahwa barang-barang yang dapat memberikan kebanggaan itu pada akhirnya akan menjerat mereka jika musim paceklik tiba.

Para petani itu harus menjual kembali barang-barang itu dengan harga yang jauh lebih murah daripada saat mereka membelinya, Justru kepada orang-orang yang telah membujuk mereka membeli barang-barang itu.

Beberapa lama Ki Udyana dan Wikan berkuda menyusuri jalan bulak yang luas itu. Angin yang segar berhembus mengusap kulit mereka. Sementara langit pun menjadi semakin terang.

Ketika cahaya matahari pagi mulai mengusap kulit mereka, maka terasa darah mereka pun menjadi hangat. Keringat mulai mengembun di tubuh mereka.

Kuda mereka pun berlari terus. Jalan yang mereka lalui pun, menjadi semakin ramai, Perempuan-perempuan yang pergi ke pasar berjalan cepat-cepat beriringan. Ada diantara mereka yang membawa hasil bumi mereka untuk dijual dan kemudian uangnya mereka belikan kebutuhan mereka sehari-hari seperti garam atau bahkan untuk membeli sepotong kain lurik atau selendang.

Beberapa saat kemudian, Ki Udyana dan Wikan harus mengekang kudanya agar berjalan lebih berhati-hati ketika mereka melewati jalan yang melintas di depan sebuah pasar yang ramai.

“Nampaknya hari pasaran sekarang di pasar ini, paman” berkata Wikan.

Ki Udyana mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya hari ini memang hari pasaran. Banyak penjual hasil bumi yang tidak mendapat tempat didalam pasar sehingga mereka berjualan di pinggir jalan didepan pasar”

“Kita melihat-lihat sebentar paman”

“Apa yang akan kau lihat?”

“Aku kadang-kadang tertarik melihat-lihat keadaan didalam pasar. Hanya melihat-lihat. Aku mendengar suara pande besi, Tentu ada pande besi di dalam pasar ini”

Ki Udyana tersenyum. Kemanakannya ini memang banyak ingin tahu. Bahkan sejak kecil.

“Baiklah. Tetapi tidak terlalu lama” Keduanya pun kemudian menitipkan kuda-kuda mereka di penitipan kuda yang terdapat di samping pasar itu, sementara Ki Udyana dan Wikan pun kemudian masuk ke dalamnya. Wikan yang berjalan di depan langsung menuju ke tempat pande besi yang membuka tempat kerjanya di sudut pasar itu.

Di pasar itu terdapat tiga tempat bengkel pande besi yang sedang sibuk melayani beberapa orang pemesannya. Mereka membuat alat-alat pertanian, seperti cangkul, parang, dan bahkan kejen bajak dan lain-lain.

“Semuanya sedang sibuk” berkata Wikan.

“Ya. Mereka sedang sibuk. Apa kau mempunyai keperluan dengan mereka?”

“Tidak, paman. Aku hanya ingin melihat-lihat saja. Aku ingin membuat perbandingan dengan kerja para cantrik di padepokan kita”

Orang-orang itu mempunyai pengalaman yang luas, Wikan. Yang pernah mereka kerjakan pun lebih banyak macamnya. Para cantrik di padepokan hanya melayani kebutuhan padepokan kita sendiri, sementara pande besi itu melayani berbagai macam kebutuhan”

“Mereka juga membuat senjata, paman. Lihat seorang pande besi muda itu agaknya sedang membuat pedang. Ternyata orang itu terhitung cermat paman. Ia tidak bekerja sebagaimana pande besi kebanyakan”

“Ya, Agaknya pedang yang dihasilkan termasuk pedang yang baik”

Wikan pun kemudian bergeser agak mendekat. Ia pun kemudian berjongkok disamping beberapa orang lain yang juga sedang memperhatikan pande besi muda itu membuat pedang.

“Tidak sekedar dibuat seperti membuat parang pembelah kayu bakar” berkata Ki Udyana.

“Ya. Pedang itu tentu pedang pesanan”

Wikan menganguk-angguk ketika ia melihat besi yang sudah ditempat memanjang itu seakan-akan telah di lipat kembali. Kemudian di tempat kembali, sehingga besi bajanya menjadi semakin padat.

“Wikan” berkata Ki Udyana, “pande besi di sebelah juga ada yang membuat pedang seperti pedang yang dibuat oleh pande besi yang muda itu. Bahkan disebelahnya terdapat pedang contoh yang harus ditiru ujudnya, sehingga pedang yang dihasilkan nanti ujudnya akan sama”

Wikan pun kemudian bergeser ke pande besi di sebelah. Diantara mereka ada juga yang sedang membuat pedang. Seperti pedang yang dibuat oleh pande besi muda itu.

“Pedang itu terhitung pedang yang besar dan panjang, paman. Apalagi tempaannya keras sekali, sehingga pedang itu tentu akan menjadi pedang yang berat”

“Ya. Pedang yang berat” Ki Udyana mengangguk-angguk.

Adalah diluar sadarnya, ketika Wikan kemudian bergeser mendekati pande besi yang sedang membuat pedang itu. Seakan-akan tanpa disengaja mulutnya bertanya, “Apakah pedang ini pedang pesanan, Ki Sanak?

Pande besi itu berpaling. Sambil mengangguk ia pun menjawab, “Ya, pedang ini adalah pesanan.

“Pedang yang di sebelah itu contohnya?”

“Ya”

Wikan mengangguk-angguk. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Apa aku boleh melihatnya?”

“Silahkan, Ki Sanak. Asal tidak kau bawa pergi”

Wikan tertawa. Katanya, “Mungkin aku akan membeli pedang seperti ini jika sudah ada yang siap”

Wikan pun kemudian menimang contoh pedang yang terhitung besar dan panjang itu.

“Sayang Ki Sanak” jawab pande besi itu, “belum ada yang siap. Kami mendapat pesanan tiga belas pedang sejenis ini. Kami baru mulai sejak tiga hari yang lalu. Kami bersama beberapa orang kawan kami, mencoba membuat pedang yang baik, yang kuat dan kokoh seperti contohnya ini”

Namun tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi dan besar telah menarik baju Wikan sambil menggeram, “Apa yang kau lakukan atas pedangku itu?”

“O” Wikan terkejut. Ia pun segera berpaling, “maaf Ki Sanak. Aku hanya melihat-lihat saja. Pedang ini adalah pedang yang sangat baik. Ki Sanak pande besi ini mengatakan, bahwa ia juga akan berusaha membuat pedang yang baik seperti pedang ini”

“Letakkan pedang itu. Kau tidak berhak mengurusi pesanan kami. Berapa pun kami memesan dan untuk keperluan apapun”

“Baik, baik. Aku mengerti Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku hanya tertarik kepada ujud pedangmu itu. Terus terang, aku ingin memiliki pedang seperti itu”

“Tidak. Hanya kami bersaudaralah yang boleh memiliki pedang seperti itu. Meskipun kami tahu, bahwa buatan pande besi di pasar ini, betapa pun baiknya, tidak akan dapat menyamai pedangku itu. Tetapi setidak-tidaknya ujudnya akan mirip. Bahkan jika mereka membuat dengan sungguh-sungguh, akan menghasilkan pedang yang cukup baik pula”

“Baiklah” berkata Wikan sambil meletakkan pedang itu, “Aku tidak akan membuat pedang Serupa itu baik pula”

“Tetapi bahwa kau memperhatikan pedangku dan bahkan ingin memilikinya itu pun telah sangat menarik perhatianku. Apakah kau ingin menyombongkan dirimu, bahwa kau adalah seorang yang memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi?”

“Tidak. Tidak Ki Sanak. Sudah aku katakan, aku tertarik dan ingin memiliki pedang seperti itu. Tetapi aku bukan seorang yang memiliki ilmu pedang. Jangankan ilmu yang tinggi, sedangkan ilmu yang rendah pun aku tidak mempunyainya”

“Jadi untuk apa kau menginginkan pedang seperti itu”

“Aku hanya tertarik saja. Ujudnya, ukurannya dan hulunya yang tidak seperti kebanyakan pedang yang kita lihat”

Tiba-tiba saja orang itu telah menarik lengan Wikan dan membawanya ke pintu gerbang pasar, menyusup diantara orang-orang yang menjadi semakin ramai di pasar itu. Bahkan beberapa orang yang menjadi semakin ramai di pasar itu. Bahkan beberapa orang sempat memperhatikan, seorang yang masih terhitung muda ditarik oleh seorang yang berwajah garang, berbadan tinggi dan besar.

Ki Udyana tidak berbuat apa-apa. Tetapi ia mengikuti saja Wikan yang ditarik ke pintu gerbang dengan menyibakkan orang-orang yang semakin berdesakan di pasar itu.

“Apa yang kau lakukan ini, Ki Sanak?” bertanya Wikan.

“Keluarlah dari pasar ini dan kemudian pergilah jauh-jauh”

“Nanti dulu. Aku masih ingin membeli nasi megana dan dawet cendol”

“Pergilah sebelum aku melemparkan ke dalam parit di depan pasar ini”

Wikan tidak melawan. Ia pun kemudian didorong keluar pintu gerbang pasar.

Namun Wikan termangu-mangu sejenak ketika ia melihat beberapa orang yang juga bertubuh tinggi besar sebagaimana orang yang menyeretnya itu.

Seorang diantara mereka pun bertanya, “Kenapa dengan anak itu sehingga kau harus menyeretnya keluar dari pasar?”

“Anak ini sangat mencurigakan. Ia telah melihat-lihat contoh pedang yang kita pesan kepada pande besi itu”

Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk. Sementara itu seorang yang lain, yang di dadanya ditumbuhi bulu dengan lebatnya melangkah mendekati Wikan sambil bertanya, “Apa kepentinganmu dengan pedang pesanan kami itu?”

“Tidak apa-apa Ki Sanak. Tadi sudah aku katakan kepada Ki Sanak itu, bahwa aku hanya sekedar tertarik melihat pedang yang bagus itu. Bahkan yang hulunya agak lain dari kebanyakan pedang yang kita lihat. Selain itu, jarang sekali kita melihat pedang yang lurus dan tajam di kedua sisinya seperti sebilah keris”

“Apakah pedang itu akan kau curi?”

“Tidak. Tidak sama sekali. Aku hanya ingin melihat-lihat”

“Anak ini mau membelinya jika sudah ada yang jadi” berkata orang yang menyeret Wikan itu.

“Ya. Justru karena aku tertarik kepada ujudnya” Beberapa orang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu saling berdiam diri sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, “Pergilah. Jangan kembali lagi”

“Baik, Ki Sanak. Aku akan pergi”

Wikan pun kemudian melangkah surut. Tetapi tiba-tiba saja Wikan tidak dapat menahan ingin tahunya sehingga ia pun bertanya, “menurut pande besi itu, kalian memesan tiga belas pedang sejenis dengan contohnya itu. Apakah kelompok kalian terdiri dari tiga belas raksasa”

Orang -orang itu berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun tertawa. Seorang diantara mereka bertanya, “Kenapa kau sebut tiga belas orang raksasa?”

“Bukankah ujud kalian lebih tinggi dan lebih besar dari ukuran rata-rata. Seperti aku, dan orang-orang yang ada di pasar itu”

Orang itu masih saja tertawa. Sambil tertawa ia pun menjawab, “Ya. Kami adalah kelompok raksasa yang berjumlah empat belas orang. Kami memesan tiga belas pedang sementara itu kami sudah mempunyai sebilah yang kami jadikan contoh itu”

Wikan mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Kalian itu siapa yang apakah nama serta kegiatan kelompok kalian?”

“Kenapa kau bertanya-tanya?”

“Tidak. Tidak. Aku hanya ingin tahu. Kelompok kalian tentu sangat menarik perhatian. empat belas orang raksasa yang berkumpul dalam satu kelompok. Apakah kalian tinggal di satu padukuhan atau satu kademangan?”

“Pergi. Pergilah” geram seorang diantara mereka. Wikan itu pun melangkah surut sambil menyahut dengan serta merta, “Baik, baik. Aku akan pergi”

Wikan pun kemudian meninggalkan sekelompok orang yang bertubuh raksasa itu. Tetapi yang berdiri di depan pasar itu jumlahnya tidak lebih dari enam orang. Tentu masih ada kelompok yang lain, sehingga jumlah mereka menjadi empat belas. Tetapi mungkin yang lain hari itu tidak berada di pasar ini.

Ki Udyana pun kemudian mendapatkan Wikan yang sedang mencarinya. Ketika Ki Udyana menggamit lengannya, Wikan memang terkejut, sehingga dengan serta-merta ia pun berpaling.

“Paman” desis Wikan sambil tersenyum.

“Aku mengikutimu. Aku juga mendengarkan pembicaraanmu dengan raksasa-raksasa itu”

“Ya, paman. Nampaknya mereka bukan raksasa yang garang”

“Ya. Agaknya mereka raksasa yang bersolah tingkah wajar-wajar saja. Tetapi bahwa mereka memesan tiga belas pedang tentu ada maksudnya”

“Agaknya mereka hanya ingin menyamakan diri yang satu dengan yang lain. Paman lihat, pakaian mereka juga hampir sama. Cara mereka mengenakan ikat kepala serta kelengkapan pakaian mereka yang lain. Agaknya mereka ingin mengenakan pakaian seragam diantara mereka sebagai prajurit. Bahkan pedang mereka pun harus sama pula”

Ki Udyana mengangguk-angguk.

Sementara itu, tiba-tiba saja seorang anak muda datang mendekati Wikan dan Ki Udyana. Anak muda itu pun kemudian berdesis, “kalian berbicara dengan raksasa-raksasa itu”

“Ya. Aku hanya ingin tahu, siapakah mereka”

“Mereka sekelompok raksasa yang tinggal di sebuah padepokan. Mereka berguru kepada seorang raksasa pula. Di perguruan itu tidak ada murid yang lain selain empat belas raksasa itu”

“Darimana kau tahu?” bertanya Wikan

“Aku tinggal di padukuhan dekat padepokan mereka”

“Apakah mereka tidak menakut-nakuti rakyat padukuhanmu?

“Tidak. Mereka adalah orang-orang baik. Nampaknya mereka memang kasar. Tetapi mereka tidak apa-apa. Bahkan kadang-kadang mereka justru membantu orang-orang padukuhan”

“Syukurlah kalau mereka orang-orang baik. Ujudnya sangat menakutkan”

“Tetapi mereka tidak apa-apa”

“Apakah nama perguruan mereka?”

“Nama perguruannya adalah Gajah Tengara” Wikan tersenyum. Katanya, “Murid-murid perguruannya adalah orang-orang yang besarnya segajah”

“Tetapi akhir-akhir ini, perguruan itu sedang berperang”

“Berperang?”

“Ya. Ada perguruan jahat yang ingin memiliki padepokan perguruan Gajah Tengara itu, karena padepokan itu adalah padepokan yang mempunyai lahan pendukung yang luas dan subur. Sebuah perguruan jahat telah berusaha mengusir raksasa-raksasa itu dari padepokannya, sehingga raksasa-raksasa itu harus bertahan. Karena itu pula, maka raksasa-raksasa itu telah memesan pedang yang baik sebanyak jumlah raksasa yang ada di perguruan itu”

Wikan pun mengangguk-angguk.

Ketika perguruan yang jahat itu datang menyerang dengan jumlah yang jauh lebih banyak, raksasa-raksasa itu telah berjuang mempertahankan hak mereka, sehingga akhirnya perguruan jahat yang menyerangnya itu terusir dari padepokan Gajah Tengara. Meskipun tidak ada korban yang meninggal, tetapi beberapa orang diantara raksasa-raksasa itu telah terluka. Sementara itu orang-orang perguruan jahat itu telah meninggalkan beberapa orang korban”

“Jadi ada kemungkinan perguruan jahat itu datang lagi untuk membalas dendam?”

“Nampaknya akan terjadi seperti itu. Bahkan raksasa-raksasa itu sekarang berkumpul di pasar ini untuk menjaga pesanan mereka, karena mereka mendengar berita yang belum tentu kebenarannya, bahwa lawan mereka itu akan datang mengambil pedang-pedang yang dipesan oleh raksasa-raksasa itu”

Wikan mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sebabnya, maka aku telah diusir dari tempat pande besi itu. Mungkin aku dikira salah seorang diantara mereka dari perguruan jahat itu”

“Mungkin sekali”

“Jika demikian, ada kemungkinan akan terjadi kerusuhan di pasar ini. Jika orang-orang dari perguruan jahat itu datang, maka akan timbul pertengkaran dan bahkan mungkin pertempuran. Sementara itu, raksasa-raksasa itu jumlahnya tidak lengkap.

“Jumlah mereka lengkap Ki Sanak. Tetapi mereka berpencar. Mereka tidak berada di satu tempat. Namun mereka telah menghubungi petugas pasar yang menjaga ketertiban dan kebersihan pasar ini”

“Lalu apa yang dapat diperbuat oleh petugas pasar itu?”

“Petugas pasar itu akan menutup pasar sebelum tengah hari”

“Apakah orang-orang perguruan jahat itu akan datang setelah lewat tengah hari”

“Kabarnya memang begitu”

“Darimana kau tahu persoalan raksasa-raksasa itu begitu terperinci?”

Anak muda itu tersenyum sambil berkata, “Aku adalah anak Bekel di Mangunan. Sebuah padukuhan di dekat padepokan Gajah Tengara. Hampir setiap hari aku bermain di padepokan itu”

Wikan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berdesis hampir di luar sadarnya, “ Jadi perguruan jahat itu akan datang setelah tengah hari”

“Ya” anak muda itu menyahut.

“Apakah mereka mengatakan begitu?”

“Orang-orang padepokan Gajah Tengara itulah yang mengata-kannya. Seorang dari mereka mendengar ancaman itu langsung diucapkannya oleh beberapa orang dari perguruan jahat itu ketika mereka bertemu di pasar beberapa hari yang lalu. Orang-orang dari perguruan jahat itu berkata bahwa di hari pasaran ini, lewat tengah hari, mereka akan datang mengambil pedang yang dipesan di sini. Dipasang pada pande-pande besi yang membuka bengkelnya di pasar ini”

“Pedang-pedang itu baru saja dipesan sejak tiga hari yang lalu”

“Ya. Tetapi orang-orang dari perguruan yang jahat itu selain datang untuk membalas dendam, mereka pun menginginkan bahan-bahan yang sedang dibuat pedang itu. Besi dan bajanya adalah besi dan baja yang khusus. Sehingga jika pedang-pedang itu jadi kelak, maka pedang-pedang itu adalah pedang-pedang pilihan”

Wikan mengangguk-angguk. Katanya kepada anak muda itu, “Terima kasih. Sekarang kau sendiri akan berbuat apa? Apakah kau akan menunggu sampai lewat tengah hari”

“Aku akan berada disini. Aku ingin melihat apa yang terjadi dengan para murid dari perguruan Gajah Tengara itu. Bahkan guru mereka pun tentu akan hadir di pasar ini”

Wikan pun mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba anak muda itu menjadi tegang. Dengan nada dalam ia pun bertanya, “Tetapi bukankah kalian bukan orang-orang dari perguruan yang jahat itu?

“Tidak. Jangan cemas. Aku hanya orang lewat. Aku tidak tahu apa-apa”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan melihat ujud Wikan dan Ki Udyana maka anak muda itu menjadi tidak curiga lagi. Keduanya nampaknya bukan orang jahat yang akan datang untuk membalas dendam itu.

“Sudahlah” berkata anak muda itu, “sebaiknya kalian pergi saja. Nanti sebelum tengah hari, orang-orang yang ada di pasar ini pun akan diminta untuk meninggalkan pasar ini. Jika benar terjadi sesuatu, hendaknya tidak akan jatuh korban dari mereka yang tidak tahu menahu dan bersangkut paut dengan kedua perguruan yang sedang berselisih itu”

“Bukankah masih agak lama. Masih ada waktu untuk duduk-duduk sambil melihat-lihat keadaan pasar ini, mumpung para petugas masih belum mempersilahkan orang-orang di pasar ini untuk pergi”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan kerut di dahi ia pun berkata, “Kalian berdua nampaknya tenang-tenang saja. Apakah kalian tidak menjadi gelisah dan cemas? Kenapa kalian tidak dengan tergesa-gesa menjauhi tempat ini?”

“Kau lihat bahwa perempuan dan anak-anak pun masih berdesakan didalam pasar. Bahkan masih ada yang duduk sambil minum dawet cendol” dan makanan nasi megana. Bukankah aku akan dapat lari lebih cepat dari mereka”

Terserahlah kepada kalian berdua. Aku sudah mencoba memeringatkanmu”

“Terima kasih atas perhatian Ki Sanak”

Tetapi sebelum anak muda itu menjawab, dua orang raksasa mendekati mereka. Kepada anak muda itu raksasa itu pun bertanya, “Kenapa kau masih berada di sini. Pergilah”

“Aku sedang mengajak kedua orang ini pergi”

“Kenapa kalian juga belum pergi?” bertanya salah seorang raksasa itu.

“Aku akan pergi bersamaan dengan perempuan dan anak-anak yang ada di pasar itu. Bukankah masih ada waktu?”

“Terserahlah kepada kalian” gumam raksasa itu. Namun kemudian kepada anak muda yang mengaku anak Ki Bekel itu. Namun kemudian kepada anak muda yang mengaku anak Ki Bekel itu, raksasa itu pun berkata, “Sebaiknya kau pulang. Nanti ayahmu mencarimu. Jika terjadi sesuatu dengan kau disini, maka kamilah yang akan dituduh mengajakmu sehingga ayahmu akan membebankan tanggung-jawab itu kepada kami. Itu jika kami masih ada yang hidup.

Tetapi jika kami semuanya sudah terbunuh, maka ayahmu tentu tidak dapat lagi menyalahkan kami”

“Tidak. Ayah tidak akan menyalahkan kalian. Aku sudah dewasa, sehingga aku harus mempertanggung-jawabkan tingkah lakuku sendiri”

Raksasa itu menarik nafas panjang. Kemudian ia pun berkata, “Hantu betina itu sangat bengis. Para pengikutnya pun menjadi bengis pula”

“Hantu betina?” bertanya Wikan.

“Ya. Mungkin kau sudah pernah mendengar nama Wora-wari Bang. Hantu betina yang selalu memakai pakaian yang serba merah. Ia adalah hantu betina yang sangat ditakuti. Karena itu, pergilah. Kalian yang muda-muda itu akan dapat ditangkapnya dan dijadikan budaknya”

Wikan mengangguk-angguk. Sementara sambil melangkah pergi raksasa itu pun berkata, “Sebaiknya kalian mendengarkan kata-kataku”

Tetapi anak muda itu pun berkata kepada diri sendiri, “Aku akan melihat apa yang akan terjadi”

“Kau kan membantu mereka?”

“Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya dapat menonton dan kemudian menjadi saksi atas peristiwa yang bakal terjadi itu”

“Kalau Hantu Betina itu menangkapmu?”

“Aku tidak akan mendekat”

“Baiklah. Aku juga akan melakukan sebagaimana kau lakukan”

“Kau tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Pergilah. Bukankah kau sendiri sudah berjanji akan pergi bersama perempuan dan anak-anak?”

“Ya”

“Nah, sekarang aku akan mencari tempat terbaik untuk menyaksikan apa yang bakal terjadi. Bagaimanapun juga aku mempunyai sangkut paut dengan raksasa-raksasa itu. Aku sudah terlanjur terbiasa bergaul dengan mereka. Karena itu, rasa-rasanya aku tidak dapat pergi tanpa menyaksikan apa yang bakal terjadi dengan mereka”

Demikian anak muda itu pergi, maka Ki Udyana pun berbisik, “Ternyata ruang gerak Wora Wari Bang itu sampai ke tempat ini. Rasa-rasanya ia ikut datang ke padepokan setahun yang lalu. Ia sempat meninggalkan arena. Ternyata jika kita menginginkan-nya, kita mempunyai kesempatan untuk berjumpa lagi dengan Iblis Betina itu”

“Bagaimana jika kita menunggu sampai tengah hari, paman”

“Baik. Tetapi kita tidak akan langsung melibatkan diri. Kita akan menyaksikan pertempuran itu dari tempat yang agak jauh sebagaimana anak Ki Bekel itu”

“Kuda-kuda kita?”

“Kita ambil sekarang dan kita ikat di tempat yang tersembunyi”

Wikan itu pun mengangguk.

Keduanya pun kemudian telah meninggalkan pasar itu. Mereka mengambil kuda-kuda mereka. Setelah memberikan uang sepantasnya, maka keduanya telah membawa kudanya pergi.

Tetapi mereka tidak pergi jauh. Mereka hanya sekedar melingkar untuk mengikat kuda-kuda mereka di pepohonan perdu yang agak tersembunyi.

Kemudian, mereka pun telah meninggalkan kuda-kuda mereka dan berjalan mendekati pasar itu kembali. Namun mereka berhenti di tempat yang agak jauh.

Dalam pada itu, matahari pun telah bergerak semakin tinggi. Menjelang matahari sampai di puncak langit, maka para petugas di pasar telah mulai memberi-tahukan kepada orang-orang yang berada di pasar untuk membenahi dagangan mereka.

Sementara itu, pasar memang sudah mulai menjadi semakin sepi. Orang-orang. yang berbelanja pun telah pulang, sementara itu beberapa pedagang memang sudah mengemasi dagangan mereka yang tersisa. Sementara beberapa orang diantaranya justru telah pergi.

Ketika petugas di pasar itu memberitahukan, agar para pedagang yang masih berada di pasar itu meninggalkan pasar, maka masih terjadi sedikit kegelisahan pula. Tetapi sudah tidak terlalu kacau lagi sebagaimana seandainya pasar itu ditutup lebih awal.

Demikian matahari sampai di puncak, maka pasar itu memang sudah sepi. Kedai-kedai di depan pasar pun sudah ditutup. Sementara para pande besi yang membuka bengkel di pasar itu pun telah menutup bengkel-bengkel mereka serta menyimpan alat dan bahan-bahan yang akan dikerjakan esok.

Demikian pula bahan-bahan yang akan dikerjakan menjadi tiga belas pedang sebagaimana di pesan oleh para raksasa itu.

Sementara itu, yang tertua diantara para raksasa itu telah mengambil contoh pedang yang ditinggalkannya di bengkel pande besi itu.

“Besok, jika aku masih hidup, akan aku serahkan kembali. Mungkin kami masih tetap membutuhkan tiga-belas pedang. Tetapi mungkin kami justru hanya membutuhkan lebih sedikit atau bahkan tidak sama sekali”

Pande Besi itu tahu apa yang dimaksud oleh raksasa-raksasa itu. Namun pemimpin pande besi itu mengatakan kepada raksasa yang tertua itu, “Ki Sanak. Aku sudah menerima penyerahan bahan-bahan pedang itu. Karena itu, maka bahan-bahan itu telah berada dibawah tanggung-jawabku. Karena itu, maka aku dan kawan-kawanku akan berusaha mempertahankan besi dan baja pilihan itu. Tegasnya aku akan berdiri di pihak kalian”

“Jangan mempersulit diri sendiri, Ki Sanak. Sebaiknya kalian pulang. Para pengikut Wora-wari Bang rasa-rasanya sudah bukan manusia lagi. Tetapi mereka adalah iblis-iblis yang kejam yang mempunyai ujud kewadagan sebagai manusia”

“Ki Sanak. Kami, para pande besi tidak saja terbiasa menempa besi dan baja. Tetapi kami pun telah menempa kemampuan kami sendiri. Kami, yang membuka bengkel di sini adalah murid-murid dari sebuah perguruan”

“Perguruan apa?” bertanya salah seorang raksasa itu.

“Guru kami menyebut perguruan kami Perguruan Tapak Waja. Kami akui, bahwa perguruan kami adalah sebuah perguruan kecil dengan kemampuan yang sangat terbatas. Meskipun demikian, guru mengajarkan agar kami selalu merambah jalan yang bersih. Guru mengharapkan bahwa kami akan menjadi orang yang mampu berpijak pada kaki sendiri, menghormati nilai-nilai baik dan buruk sebagai ujud dari ketakwaan kami kepada Sumber Hidup kami serta tanggung jawab atas segala perbuatan dan tingkah laku kami. Karena itu, bahwa kali ini kami berpihak pada kalian, termasuk dalam pilihan kami karena kami harus mempertanggung-jawabkan bahan-bahan pedang yang sudah kalian serahkan kepada kami”

“Ki Sanak. Kami memang sudah mengira, bahwa kalian yang membuka bengkel pande besi di sudut pasar itu berasal dari sebuah perguruan”

“Ya. Kami ingin menggelar kemampuan yang kami pelajari di padepokan kami agar berarti bagi banyak orang. Sementara itu, kami mendapat penghasilan yang dapat membantu perkembang-an padepokan kami”

“Kami sangat menghargai sikap Ki Sanak. Tetapi sekali lagi aku ingin memperingatkan, bahwa Wora-wari Bang benar-benar orang yang tidak berjantung. Ia ajarkan sikap bengisnya kepada para pengikutnya”

“Kami sudah pernah mendengar namanya, Ki Sanak. Kami pun pernah mendengar bahwa Wora-wari Bang itu memang pantas di sebut iblis betina”

“Maaf Ki Sanak” bertanya raksasa itu, “berapa jumlah saudara-saudara seperguruan Ki Sanak yang ikut bekerja di pasar ini?”

“Semuanya berjumlah sebelas orang, Ki Sanak. Tetapi kebetulan ada seorang kakak seperguruan kami yang berada diantara kami sekarang. Sebenarnya kakak seperguruan kami hanya ingin melihat-lihat kerja kami. Tetapi ia berniat untuk tinggal bersama kami mempertahankan bahan-bahan pedang yang sudah kami terima dan menjadi tanggung jawab kami itu”

“Terima kasih Ki Sanak. Ternyata jumlah kalian hampir sama dengan jumlah kami. Jumlah kami hanya empat belas orang. Bersama guru jumlah kami semua lima-belas orang. Sebuah perguruan kecil, yang lebih kecil dari perguruan Tapak Waja. Jika kalian yang berada di pasar ini saja sudah berjumlah dua belas orang, maka jumlah penghuni padepokan Ki Sanak tentu jauh lebih banyak dari jumlah penghuni padepokanku”

“Mungkin kami menang jika dihitung jumlah. Tetapi nampaknya dan mungkin justru karena itu, secara pribadi, kalian lebih baik dari kami”

“Belum tentu Ki Sanak. Mungkin ujud kami memang memberikan kesan seperti itu. Tetapi lebih dari ujud kewadagan kami, kami tidak mempunyai kelebihan apa-apa”

Sementara itu, rasa-rasanya langit pun menjadi semakin panas. Matahari merayap semakin tinggi, sehingga hampir sampai ke puncak.

Suasana di pasar itu pun menjadi semakin tegang. Raksasa-raksasa itu telah minta agar para petugas di pasar itu pun pergi.

“Kalian tidak usah melibatkan diri. Wora-wari Bang adalah pendendam. Jika kalian nampak ada diantara kami, maka esok kalian tentu sudah kehilangan kepala kalian”

“Terima kasih atas kesempatan ini, Ki Sanak. Seharusnya kami tidak meninggalkan tugas kami. Apa pun yang terjadi. Tetapi kali ini, kami lebih senang mendengarkan nasehat Ki Sanak”

Raksasa yang menemui petugas pasar itu tertawa. Katanya, “Bagus. Dengarlah nasehat kami itu”

Para petugas itu pun kemudian segera meninggalkan pasar. Mereka tidak ingin menjadi korban dari persengketaan yang tidak mereka ketahui persoalannya. Mereka pun merasa bahwa mereka tentu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka memang garang terhadap copet-copet kecil yang sering berada di pasar itu. Tetapi demikian mereka dengar nama Wora-wari Bang, maka jantung mereka pun segera menjadi kuncup.

Dengan demikian, maka pasar itu pun telah menjadi kosong. Yang ada tinggal empat belas orang murid perguruan Gajah Tengara bersama seorang gurunya, yang rambutnya sudah mulai memutih. Tetapi justru karena itu, maka ia nampak lebih berwibawa. Tubuhnya yang besar, tinggi dan kekar itu, seakan-akan telah menyiratkan kelebihan dari orang lain.

Sementara itu, di sekitar bengkel pande besi itu, dua belas orang masih tetap berjaga-jaga. Ada diantara mereka yang duduk, yang berdiri dan bahkan ada yang berjalan hilir mudik.

Pada saat matahari mencapai puncak langit, maka orang-orang yang masih berada di pasar itu menjadi bertambah tegang ketika mereka mendengar derap kaki kuda yang berlari kencang menuju ke pasar itu.

Sejenak kemudian, tiga orang yang bertubuh tinggi besar, yang berdiri di sudut pasar itu pun telah menyongsong tiga orang berkuda yang menghentikan kudanya di sudut pasar itu pula.

Demikian ketiga orang raksasa itu mendekat, maka orang yang duduk di punggung kudanya itu tanpa meloncat turun, bertanya, “Apakah kalian para murid dari perguruan Gajah Tengara?”

“Ya” jawab salah seorang dari raksasa-raksasa itu.

“Kalian memang mudah dikenali”

“Apa yang kau kehendaki dari kami?” bertanya raksasa itu.

“Kau tentu sudah tahu. Salah seorang dari kami tentu sudah mengatakan kepada kalian, bahwa hari ini, lewat tengah hari, kami akan datang menemui kalian. Lewat tengah hari, pasar ini tentu sudah menjadi sepi, sehingga tidak akan banyak orang yang akan terlibat kedalam persoalan diantara kita”

“Ya. Sekarang pasar memang sudah sepi. Sangat sepi”

“Agaknya kalian telah mengusir orang-orang yang masih tersisa menjelang tengah hari”

“Ya. Seperti yang kau katakan. Persoalannya adalah persoalan antara kita”

“Bagus”

“Katakan, apa yang kau kehendaki dari kita?”

“Persoalannya tentu sudah kau ketahui. Persoalan pokok diantara kita adalah tanah padepokan yang kalian pergunakan itu. Kami menginginkan tanah itu. Karena itu pergilah“ sebelum raksasa dari perguruan Gajah Tengara itu menjawab, orang berkuda itu telah melanjutkan kata-katanya, “Tetapi persoalan kita kali ini akan kita batasi. Sebelum kalian sempat pergi dari padepokan, maka kalian masih dapat mempergunakan padepokan itu dengan perjanjian tersendiri. Itu dapat kita bicarakan pada kesempatan lain. Ada pun sekarang, kami datang untuk mengambil besi baja yang ada di tangan para pande besi itu. Besi baja itu sangat baik, sehingga kami pun memerlukannya. Karena itu, jangan cegah kami mengambil besi baja yang kami inginkan itu”

“Aku tidak dapat membedakan persoalan tanah padepokan itu dengan persoalan besi baja yang akan kami buat menjadi pedang itu. Kedua-duanya menyangkut hak dan harga diri”

Orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Jangan merasa diri kalian terlalu besar. Mungkin tubuh kalian besarnya melampaui tubuh orang kebanyakan. Tetapi itu tidak mencerminkan kebesaran perguruan kalian”

“Kami tidak pernah mengaku, bahwa perguruan kami adalah perguruan yang besar. Jika kami sebut perguruan kami Gajah Tengara itu sekedar menandai bahwa murid-murid perguruan itu adalah orang-orang yang besar tubuhnya seperti seekor gajah diantara binatang-binatang yang lain”

Orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Sekarang, aku akan langsung saja ke persoalan diantara kita. Berikan besi baja yang akan kalian buat menjadi tiga belas pedang itu kepada kami. Kami akan membuat pedang pula dari bahan besi baja itu. Persoalan tanah yang kalian pergunakan untuk mendirikan padepokan itu, dapat kita bicarakan pada kesempatan lain”

“Sudah aku katakan Ki Sanak. Persoalan besi baja itu dengan persoalan tanah padepokan kami, sama saja. Baik besi baja itu, mau pun padepokan kami itu adalah hak kami. Kami memerlukannya, sehingga karena itu, maka kami tidak akan dapat memberikan kepada kalian”

“Jangan keras kepala. Kau tahu siapa kami. Kami adalah para murid dari padepokan Wora-wari Bang. Tidak ada orang yang dapat menentang kemauan kami”

“Seandainya benar demikian, maka kau akan menjadi semakin sewenang-wenang terhadap orang lain. Karena itu, maka harus ada orang yang berani menentang kalian”

“Persetan. Kau terlalu sombong. Kau akan mengandalkan tubuhmu yang tinggi dan besar seperti seekor gajah itu? Ingat, bahwa yang kau hadapi adalah Wora-wari Bang”

“Sudahlah. Lakukan apa yang akan kau lakukan. Kami sudah siap melindungi hak kami. Siapa pun yang kami hadapi”

“Kau dan perguruan Gajah Tengara akan hancur hari ini”

“Pergilah sebelum kami meremukkan kepalamu. Bukankah kau sekedar ditugaskan untuk menjajagi suasana? Pergilah. Kami menunggu kedatangan Wora-wari Bang itu sendiri”

Orang-orange berkuda itu menggeram. Wajah mereka menjadi merah. Namun mereka pun kemudian memutar kudanya. Sejenak kemudian, maka para penunggang kuda itu pun segera melarikan kuda mereka.

Sepeninggal orang-orang berkuda itu, maka raksasa-raksasa dari perguruan Gajah Tengara itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka pun berkumpul didalam pasar yang sudah kosong. empat belas orang cantrik perguruan Gajah Tengara beserta seorang guru mereka telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena pedang mereka masih belum siap, maka mereka pun masih mempergunakan senjata yang berbeda-beda.

Di belakang mereka, para pande besi itu pun telah bersiap pula. Meskipun tubuh mereka tidak sebesar para cantrik dari perguruan Gajah Tengara, namun para cantrik dari perguruan Tapak Waja yang sehari-hari bekerja sebagai pande besi di pasar itu, tubuhnya nampak kokoh.

Beberapa saat para cantrik dari perguruan Gajah Tengara dan perguruan Tapak Waja itu menunggu. Orang-orang berkuda dari perguruan Wora-wari Bang itu agaknya baru melaporkan pengamatan mereka terhadap raksasa-raksasa dari perguruan Gajah Tengara.

“Sebentar lagi mereka akan segera datang” gumam Ki Gajah Tengara, guru dari perguruan Gajah Tengara itu.

“Ya, guru. Tetapi kami sudah siap menerima kedatangan mereka” jawab salah seorang muridnya.

“Mereka tentu akan datang dengan kekuatan yang lebih besar. Mereka tidak mau gagal sekali lagi”

“Tetapi dengan tidak kita duga, saudara-saudara kita dari perguruan Tapak Waja itu menyatakan kesediaan mereka untuk membantu kita. Meskipun mereka terdorong oleh tanggung-jawab mereka atas bahan-bahan pedang yang sudah kita serahkan kepada mereka, serta sudah mereka terima, maka mereka harus menjaga agar bahan-bahan pedang itu tidak terlepas dari tangan mereka”

“Kami sangat berterima kasih kepada mereka. Jumlah mereka bahkan hampir sama dengan jumlah kita seluruhnya. Bahkan menurut penglihatanku, ilmu mereka pun tentu memadainya pula. Sementara itu tubuh mereka pun sangat terlatih untuk mengayunkan alat penempa besi baja itu setiap hari, sehingga tubuh mereka pun menjadi sangat kokoh, serta tangan mereka pun menjadi sangat kuat”

“Ya, guru. Jika kita berhasil dengan selamat keluar dari kemelut ini, maka agaknya kita akan dapat memberikan besi baja serupa dengan bahan-bahan pedang kita untuk beberapa macam senjata kepada mereka”

Ki Gajah Tengara itu pun mengangguk-angguk mengiakan.

Demikianlah, setelah menunggu beberapa saat, maka para murid dari perguruan Gajah Tengara yang berdiri di luar pasar untuk mengamati keadaan, melihat iring-iringan di kejauhan . Beberapa orang berkuda, sementara yang lain berjalan mengikutinya.

Seorang diantara mereka yang berkuda adalah seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba merah. Orang itulah Wora wari Bang yang sangat ditakuti.

Di belakang gerumbul perdu liar, agak jauh dari jalan yang dilewati iring-iringan itu, Wikan dan Ki Udyana memperhatikan iringan-iringan itu dengan saksama. Namun mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat di samping Wora-wari Bang itu seseorang yang rambutnya terurai mencuat dibawah ikat kepalanya, berwarna putih perak.

“Gila. Ternyata Wora-wari Bang itu datang bersama dengan Winenang”

“Ya, paman. Orang itu adalah Alap-alap Perak. Agaknya mereka telah bekerja sama untuk melebarkan sayap mereka sebelum pada suatu saat mereka akan kembali ke padepokan kita sebagaimana dikatakannya. Bukankah orang itu berjanji akan datang kembali?”

“Ya. Orang itu memang pernah berjanji untuk datang kembali. Sedangkan kita sama sekali tidak dapat berharap, bahwa Alap-alap Perak itu akan datang berubah sebagaimana Ki Sangga Geni”

“Pertarungan akan menjadi sangat seru, paman. Aku merasa beruntung bahwa kita menunggu sampai mereka datang”

“Kenapa?”

Wikan menarik nafas panjang. Katanya, “Mereka tidak perlu merusak padepokan kita. Kita temui saja mereka disini. Kita berdiri di pihak para cantrik dari padepokan Gajah Tengara itu”

Ki Udyana menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah itu cukup adil?”

“Tentu paman. Katakanlah bahwa kita membantu para cantrik dari padepokan Gajah Tengara itu”

“Bukankah dengan demikian juga berarti bahwa kita justru memanfaatkan murid-murid perguruan Gajah Tengara untuk kepentingan kita”

“Jika kita datang untuk membantunya, bukankah artinya akan berbeda?”

Ki Udyana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Jumlah mereka yang datang ke pasar cukup banyak. Para murid dari perguruan Gajah Tengara itu akan mengalami kesulitan. Apalagi diantara mereka terdapat Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak”

“Apakah kau sudah siap menghadapi salah seorang keduanya Wikan?”

“Sudah paman. Mudah-mudahan peningkatan ilmuku selama ini tidak ketinggalan dengan peningkatan ilmu Alap-alap Perak atau Wora-wari Bang”

“Aku yakin akan kemampuanmu, Wikan. Bahkan sebelum kita pelajari tataran terakhir dari ilmu perguruan kita yang tercantum didalam kitab itu”

“Jika demikian, kita akan melibatkan diri paman” Ki Udyana mengangguk-angguk. Yang ada di hadapan mereka memang satu kesempatan yang baik untuk menghadapi Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak. Mereka tidak usah menunggu keduanya serta para pengikutnya mendatangi padepokannya. Jika itu terjadi, mau tidak mau akan jatuh korban diantara para cantrik di padepokan Ki Udyana itu.

Dalam pada itu, maka Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak sudah semakin mendekati pasar yang lengang itu. Ki Gajah Tengara telah berdiri di regol pasar sambil mengamati orang-orang yang mendatanginya.

“Gila” geram Ki Gajah Tengara, “bersama Wora-wari Bang telah datang pula Alap-alap Perak”

“Alap-alap Perak” bertanya salah seorang muridnya yang masih berada didalam pasar. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah ke regol untuk melihat siapa saja yang telah datang.

Beberapa orang murid Ki Gajah Tengara yang melihat kedatangan iring-iringan itu menjadi berdebar-debar. Untuk menghadapi Wora-wari Bang, mereka sudah harus mengerahkan segenap kekuatan yang ada. Apalagi jika Wora-wari Bang itu datang bersama Alap-alap Perak.

Karena itu, maka Ki Gajah Tengara pun kemudian memerintahkan seorang muridnya menemui para pande besi untuk memberitahukan, bahwa yang datang Wora-wari Bang bersama Alap-alap Perak.

“Sebaiknya mereka meninggalkan pasar ini selagi sempat. Sulit bagi kita untuk melawan Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak yang datang bersamaan dengan para cantrik mereka”

“Baik, guru” jawab muridnya itu sambil beranjak dari tempatnya.

Cantrik dari perguruan Gajah Tengara itu pun segera menghubungi para cantrik dari Tapak Waja yang membuka bengkel pande besi di pasar itu. Cantrik dari Gajah Tengara itu telah memberitahukan, bahwa yang datang bukan hanya Wora-wari Bang. Tetapi juga Alap-alap Perak.

“Guru mempersilahkan kalian meninggalkan pasar. Sulit bagi kita untuk membendung mereka. Guru tidak ingin ada diantara kalian yang menjadi korban”

Tetapi orang tertua diantara mereka pun berkata, “Kami berkewajiban untuk menjaga milik kami atau barang-barang, alat-alat serta bahan-bahan yang ada didalam bengkel kami”

“Relakan saja semuanya itu. Nyawa kalian jauh lebih berharga dari semuanya yang terdapat didalam bengkel kalian.

“Kami dapat saja merelakan apa saja yang berada didalam bengkel kami. Tetapi kami tidak akan dapat merelakan harga diri kami”

Murid perguruan Gajah Tengara itu tidak dapat lagi membantah. Para murid dari perguruan Tambak Waja itu telah siap bertempur untuk mempertahankan keyakinan serta harga diri mereka.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Gajah Tengara, maka Ki Gajah Tengara hanya dapat mengusap dadanya.

“Aku bangga terhadap mereka. Sayang, bahwa mereka hari ini membentur kekuatan yang sulit untuk di lawan”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak telah berada di depan pasar. Mereka menghentikan kuda-kuda mereka beberapa langkah di hadapan Ki Gajah Tengara.

“Selamat siang, Ki Gajah Tengara“ sapa Wora-wari Bang sambil tersenyum, “Aku memang sangat berharap dapat bertemu dengan Ki Gajah Tengara”

“Kita sudah bertemu sekarang Wora-wari Bang”

“Akulah yang tidak mengira, bahwa aku akan bertemu lagi dengan Ki Gajah Tengara” berkata Alap-alap Perak sambil tertawa.

“Kau pernah bertemu dengan Ki Gajah Tengara?”

“Pernah. Tetapi sudah lama. Waktu itu Gajah Tengara belum memimpin sebuah padepokan seperti sekarang ini. Tetapi Gajah Tengara adalah seorang yang licik. Ia melarikan diri dari arena pertempuran, bersembunyi diantara kesibukan orang-orang yang berada di pasar, maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari kematian. Waktu itu ia tidak peduli, orang-orang sepasar yang menjadi kacau balau. Bahkan ada yang terinjak-injak dan bahkan mungkin ada yang mati. Mungkin perempuan dan mungkin anak-anak”

“Aku tidak ingkar, bahwa aku pernah lari dari medan pertempuran waktu itu, Alap-alap Perak. Aku pun mengakui bahwa aku telah lari masuk ke dalam pasar. Tetapi tentang kematian di pasar itu hanyalah dugaanmu saja”

“Sekarang kita bertemu lagi. Justru ketika aku sudah mencapai puncak kemampuanku. Agaknya kali ini kau tidak akan dapat lepas dari tanganku. Aku sudah berusaha agar pasar ini dikosongkan. Aku tidak mau, bahwa calon-calon korbanku itu lari masuk ke dalam gejolak yang terjadi di pasar”

“Kaukah yang memilih waktu untuk datang ke pasar ini setelah tengah hari?” bertanya Ki Gajah Tengara.

“Ya. Sekarang cobalah lari masuk ke dalam pasar” Alap-alap Perak itu pun tertawa.

Ki Gajah Tengara menarik nafas panjang. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat mempertahankan diri. Bahkan mungkin murid-muridnya pun akan dibantai oleh Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak serta anak buahnya yang sangat menakutkan itu.

Meskipun demikian, maka Ki Gajah Tengara tidak akan mengorbankan harga dirinya lagi.

“Apa pun yang terjadi sekarang, Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak, aku tidak akan melarikan diri. Aku dan murid-muridku akan mempertahankan diri sejauh dapat kami lakukan. Jika kami harus mati, maka kami tidak akan mati sendirian. Kami akan mati bersama kalian”

Alap-alap Perak itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Bagaimana mungkin kau bermimpi untuk mati sampyuh dalam pertarungan diantara kita. Bukankah pertarungan kita bagaikan mentimun melawan durian”

Wora-wari Bang pun tertawa pula. Katanya, “Jangan kotori tanganmu dengan darah cecurut itu, Alap-alap Perak. Biarlah aku mengajaknya bermain-main sebentar. Melihat bentuk tubuhnya, aku memang tertarik. Tetapi nampaknya orang itu agak dungu”

“Ia memang seorang yang dungu. Aku heran, kenapa orang dungu itu telah mendirikan sebuah perguruan, sementara itu ada orang-orang yang mau menyatakan diri menjadi murid-muridnya”

“Yang menyatakan menjadi muridnya itu tentu juga orang-orang dungu. Bahkan lebih dungu dari Gajah Tengara sendiri”

Ki Gadjah Tengara masih tetap berdiri di tempatnya. Wajahnya sama sekali tidak nampak bergejolak. Bahkan wajah Ki Gajah Tengara itu masih tetap dingin.

Namun Wora-wari Bang itu pun berkata, “Kau lihat wajahnya, Alap-alap perak. Orang itu sudah jauh terbenam kedalam perasaan putus asa, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa, “ Wora-wari Bang itu pun tertawa pula, “Baiklah. Aku jadi kasihan memandang wajahnya. Sekarang biarlah aku langsung saja menyampaikan niat kedatangan kami. Kau tentu sudah tahu. Aku ingin mendapatkan besi baja yang akan kau pergunakan untuk membuat tiga belas pedang yang sama bentuknya. Bahan pedang itu ternyata besi baja yang sangat baik. Yang jarang dicari duanya di tlatah Mataram ini. Karena itu, maka aku menginginkannya. Serahkan besi baja itu kepada kami. Jika itu kau lakukan, maka kami tidak akan menyakitimu. Kami pun tidak akan segera berbicara tentang padepokan yang. sekarang kau pergunakan itu”

Ki Gajah Tengara itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kalian tentu sudah tahu jawabku Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak. Betapa pun kau meremehkan diriku, tetapi kami tidak akan merendahkan diri kami sendiri. Besi baja itu adalah milik kami sebagaimana padepokan itu. Ketika pengikutmu tadi datang untuk menjajagi sikap kami, maka sudah jelas. Kami tidak akan merelakan sejengkal tanah pun atau sepotong besi baja pun kepada kalian”

“Bagus. Dengan demikian, maka kerja kami pun menjadi lebih mudah”

Ki Gajah Tengara pun termangu-mangu sejenak. Sementara itu Wora-wari Bang pun berteriak, “Singa Pecut. Ambil besi baja itu di bengkel kerja para pande besi di sudut pasar ini“ Lalu ia pun berteriak pula, “Sura Dengkek. Tangkap Gajah Tengara. Kemudian ikat di belakang kudaku”

“Baik Nyi” jawab Singa Pecut dan Sura Dengkek hampir berbareng.

Keduanya pun kemudian bergerak serentak bersama beberapa orang pengikut Wora-wari Bang. Murid-murid Alap-alap Perak pun kemudian telah mulai bergerak pula.

Ki Gajah Tengara merasa betapa Wora-wari Bang itu meremehkankannya, sehingga Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak itu masih tetap saja duduk di punggung kuda mereka.

Tetapi sebaliknya, Ki Gajah Tengara tidak ingin meremehkan lawannya. Siapa pun yang dihadapinya, maka ia akan melawannya dengan sungguh-sungguh.

“Mungkin yang disebut Sura Dengkek itu memang seorang yang memiliki ilmu setinggi Wora-wari Bang sendiri” berkata Ki Gajah Tengara didalam hatinya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Gajah Tengara telah berhadapan dengan orang yang disebut Sura Dengkek itu. Menilik ujudnya Sura Dengkek agaknya memang seorang yang pantas diandalkan. Karena itu, maka Ki Gajah Tengara pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

“Sudahlah. Menyerah sajalah Ki Sanak” berkata Sura Dengkek. Suaranya agak parau dengan nada yang tinggi.

Ki Gajah Tengara menarik nafas panjang. Katanya, “Kau jangan terlalu merendahkan kami, Ki Sanak. Mungkin kau seorang yang berilmu tinggi, kepercayaan perempuan iblis itu. Tetapi kau tentu tahu, bahwa aku tidak akan menyerah. Bahkan kepada perempuan iblis itu atau kepada Ala-alap liar itu”

“Bungkam mulutnya, Sura Dengkek. Jangan kau ajak orang itu bicara. Mulutnya akan menaburkan umpatan kasar yang tidak pantas didengar”

Sura Dengkek memang tidak berbicara lagi. Ia pun segera bersiap untuk menyerang.

Dengan demikian, maka para pengikut Wora-wari Bang dan para pengikut Alap-alap Perak pun telah bersiaga pula. Ketika Sura Dengkek itu meloncat menyerang, maka para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak yang lain pun berloncatan menyerang pula.

Dengan demikian, maka pertempuran pun segera terjadi. Sura Dengkek menyerang dengan garangnya. Demikian pula kawan-kawannya yang lain.

Namun para murid dari perguruan Gajah Tengara itu pun telah siap pula. Mereka pun segera bergerak pula. Tubuh mereka yang tinggi dan besar itu mempunyai pengaruh atas tenaga dan kekuatan mereka. Karena itu, ketika benturan-benturan terjadi antara para cantrik dari perguruan Gajah Tengara dengan para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak, maka raksasa-raksasa itu pun menunjukkan kelebihan mereka.

Ternyata raksasa-raksasa itu tidak sekedar mengandalkan tenaga dan kekuatan mereka. Tetapi sebagai murid dari sebuah perguruan, maka mereka pun memiliki landasan ilmu kanuragan.

Karena itu, maka kemampuan mereka dalam ilmu kanuragan, serta tenaga dan kekuatan raksasa mereka, telah membuat lawan-lawan mereka menjadi berdebar-debar.

Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Meskipun para cantrik dari perguruan Gajah Tengara itu memiliki kelebihan dari para pengikut mereka, tetapi jumlah pengikut mereka jauh lebih banyak dari para cantrik dari perguruan Gajah Tengara itu.

Karena itu, maka pertempuran itu pun segera menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk mendesak lawan-lawan mereka.

Wora-wari Bang dan Ala-alap Perak sekali-sekali terkejut melihat para pengikutnya yang dilemparkan oleh raksasa-raksasa itu seperti seekor pelanduk yang dilemparkan oleh seekor gajah dengan belalainya.

Namun para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak itu pun cukup berpengalaman pula. Mereka pun mempunyai daya tahan tubuh yang cukup, sehingga demikian mereka terpelanting jatuh, maka mereka pun segera bangkit kembali.

Dalam pada itu, perhatian Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak itu lebih banyak tertuju kepada pertempuran yang terjadi antara para pengikut mereka dengan para murid dari perguruan Gajah Tengara. Dengan demikian, maka mereka pun tidak terlalu memperhatikan Singa Pecut dan kawan-kawannya yang pergi ke sudut pasar di bagian agak ke belakang, yang sedang menjalankan perintah untuk mengambil besi dan baja, bahan untuk membuat pedang yang diserahkan oleh para murid dari perguruan Gajah Tengara kepada para pande besi yang terjadi adalah murid-murid dari perguruan Tambak Waja.

Singa Pecut yang diserahi memimpin kawan-kawannya pun telah pergi menemui para pande besi yang berkumpul di depan bengkel mereka yang sudah ditutup dan diselarak dengan kokoh.

“Siapakah yang menjadi pemimpin kalian?” bertanya Singa Pecut.

“Aku” jawab murid tertua dari perguruan Tambak Waja itu.

“Aku datang atas perintah Wora-wari Bang untuk mengambil besi baja yang telah diserahkan oleh para cantrik dari perguruan Gajah Tengara kepada kalian untuk dibuat pedang”

“Apakah hak Wora-wari Bang sehingga ia memerintahkan Ki Sanak untuk mengambil besi baja itu?”

“Kalian mempertanyakan hak Wora-wari Bang?”

“Ya”

“Hak Wora-wari Bang berada di ujung senjata. Sebaiknya kalian tidak berbuat macam-macam. Serahkan saja besi baja itu. Kemudian kami ,akan segera pergi. Kami tidak akan mengusik kalian. Kami akan mengambil besi dan bajak-milik kalian. Yang akan kami ambil adalah besi baja yang diserahkan oleh para cantrik dari perguruan Gajah Tengara untuk dibuat pedang. Besi baja itu sebenarnya adalah milik kami. Mereka mencurinya dan kemudian mereka membawanya kepada kalian. Sekarang kami datang mengambil milik kami”

“Omong kosong. Aku tahu benar sifat orang-orang dari perguruan Gajah Tengara. Mereka tidak akan mencuri besi baja atau mencuri apapun. Justru kalianlah pembohong besar itu. Seluruh pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak adalah pembohong besar”

“Jadi tegasnya kalian berani menolak keinginan Wora-wari Bang serta Ki Alap-alap Perak”

“Ya. Kami harus melindungi bahan-bahan pedang yang sudah diserahkan kepada kami. Itu adalah tanggung-jawab kami. Kami tidak akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami hanya akan menyerahkan kepada para cantrik dari perguruan Gajah Tengara. Mereka sudah memberikan pula uang panjar kepada kami untuk membuat besi dan baja itu menjadi pedang. Sekarang besi baja itu sudah kami blabari menjadi tiga belas batang pedang”.

“Besi baja yang sudah di bentuk menjadi pedang itu serahkan kepada kami”

“Kami tidak akan memberikannya. Lebih baik kalian membawa mayat kami saja daripada kalian harus membawa besi baja itu”

“Persetan. Jika demikian, bersiaplah untuk mati. Aku percaya bahwa kalian adalah para pande besi yang mempunyai tenaga yang besar karena setiap hari kalian bekerja keras dengan mempergunakan tenaga kalian. Tetapi untuk memasuki arena pertempuran, tenaga saja sama sekali tidak cukup. Bahkan dengan tenaga yang kecil, kami akan memusnahkan kalian”

Murid perguruan Tambak Waja yang tertua itu tidak menjawab. Tetapi ia telah memberikan isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk bersiap.

Sing Pecut itu pun kemudian berteriak kepada kawan-kawannya, “Ambil besi baja yang ada di dalam bengkel itu. Pecahkan gubug-gubug reot itu. Siapa yang mencoba menghalangi, singkirkan saja. Tikam sampai ke jantung atau penggal saja kepalanya”

Kawan-kawan Singa Pecut itu pun segera bergerak. Tetapi tanpa diduga, maka para pande besi itu pun dengan tangkasnya telah menyerang mereka.

Singa Pecut dan kawan-kawannya terkejut. Para pande besi itu ternyata tidak saja mengandalkan tenaga mereka. Tetapi mereka pun ternyata juga berbekal ilmu kanuragan yang memadai.

Demikianlah, maka di sekitar bengkel pande besi itu pun telah terjadi pertempuran pula. Para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap perak ternyata salah duga. Karena itu, maka demikian mereka mulai terlibat dalam pertempuran, orang-orang yang terlalu meremehkan lawannya segera terpelanting dari arena.

Sambil mengumpat mereka pun berloncatan bangkit. Dengan cepat mereka pun kembali memasuki arena pertempuran. Namun ada diantara mereka yang tulang belakangnya terasa sakit. Atau tulang-tulang iganya yang terkena serangan kaki lawannya dengan tiba-tiba itu, terasa bagaikan menjadi retak.

Ternyata para pande besi itu benar-benar telah membingungkan kawan-kawan Singa Pecut. Namun kawan-kawan Singa Pecut yang memiliki pengalaman yang luas dalam petualangan mereka di dunia olah kanuragan, maka mereka pun segera dapat menempatkan diri.

Meskipun demikian, tetapi para pande besi itu merupakan satu kekuatan yang harus mereka hadapi dengan mengerahkan segenap kamampuan mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi di mulut pasar serta di sudut belakang pasar itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak yang masih duduk di punggung kudanya mulai menjadi gelisah. Meskipun para pengikut mereka jumlahnya lebih banyak, tetapi mereka tidak segera mampu menguasai lawan-lawan mereka. Bahkan para pengikut mereka yang mereka perintahkan untuk mengambil besi baja itu mash juga bertempur di bagian belakang pasar itu.

“Kenapa mereka tidak membunuh saja para pande besi yang berusaha untuk menghalangi” berkata Wora-wari Bang.

Alap-alap Perak pun menggeram. Namun mereka tidak segera pergi ke bagian belakang pasar itu, karena pertempuran yang sengit masih saja terjadi pintu gerbang pasar dan sekitarnya

Semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Para pengikut Wora-wari Bang serta para pengikut Alap-alap Perak, semakin menyadari pula, bahwa mereka tidak akan dapat meremehkan lawan-lawan mereka lagi. Apalagi ketika sudah ada diantara para pengikut Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak itu yang terpelanting jatah dan tidak mampu untuk bangkit dan meneruskan pertempuran karena tulang-tulang mereka benar-benar telah patah.

Dalam para itu, Sura Dengkek tidak lagi dapat bersabar menghadapi raksasa-raksasa yang mengamuk itu. Seorang diantara kawan Sura Dengkek itu terlempar dengan kekuatan yang besar sekali sehingga terjatuh di seberang jalan membentur sebatang pohon pelindung yang sudah tua sehingga batangnya menjadi sangat besar. Orang itu pun kemudian terkapar tanpa dapat bangkit lagi.

Sura Dengkek yang marah pun kemudian telah mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Bahkan kemudian Sura Dengkek itu telah menggenggam sebilah golok yang besar.

Namun ia berhadapan dengan Ki Gajah Tengara sendiri. Ki Gajah Tengara pun kemudian telah memegang sebilah pedang. Meskipun pedangnya bukan pedang yang dikerjakan oleh pande besi dari perguruan Tapak Waja, namun pedang Ki Gajah Tengara adalah pedang yang sangat baik. Bahkan lebih baik dari pedang yang dipergunakan sebagai contoh untuk membuat tiga belas batang pedang.

Dengan pedang ditangan, maka Ki Gajah Tengara pun bertempur semakin garang melawan Sura Dengkek yang bersenjata golok. Tetapi karena keduanya kemudian bersenjata, maka Sura Dengkek pun justru menjadi semakin terdesak.

Tetapi karena jumlah para pengikut Wora-Wari Bang serta Alap-alap Perak itu lebih banyak, maka Sura Dengkek dapat memerintahkan dua orang untuk membantunya.

Meskipun kemudian Ki Gajah Tengara harus bertempur melawan tiga orang, namun Ki Gajah Tengara itu tidak segera dapat dikuasai oleh lawan-lawannya.

Sementara itu, di depan bengkel pande besi yang terdiri dari para murid perguruan Tapak Waja, pertempuran pun menjadi semakin sengit pula. Murid dari perguruan Tapak Waja yang tertua, yang kebetulan sedang berada di pasar itu, telah bertempur melawan Singa Pecut. Betapa pun garangnya Singa Pecut, namun menghadapi murid dari perguruan Tapak Waja itu, Singa Pecut harus memeras segenap tenaga dan kemampuannya.

Meskipun demikian, murid dari Tapak Waja itu masih saja mampu mengimbanginya.

Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi di depan bengkel para pande besi dari perguruan Tapak Waja itu menjadi semakin sengit. Para pengikut Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak bertempur semakin lama semakin garang dan bahkan semakin kasar.

Tetapi murid-murid dari perguruan Tapak Waja yang bertempur dengan mapan itu masih mampu mengimbangi mereka.

Wora-wari Bang serta Alap-alap Perak itu menjadi semakin tidak telaten. Wora-wari Bang itu pun kemudian berteriak, “Sura Dengkek. Kau mampu atau tidak menangkap Gajah Tengara dan mengikatnya di belakang kudaku. Aku ingin membawanya dengan mengalungkan dadung dari sabut kelapa di lehernya. Jika ia berkeberatan, maka aku akan menyeretnya sampai semua kulitnya terkelupas seperti pisang yang sudah dikuliti”

Sura Dengkek itu pun berteriak pula, “Aku akan menangkapnya”

Bersama dua orang kawannya, Sura Dengkek pun mempercepat tatanan geraknya. Bertiga mereka menyerang Ki Gajah Tengara dari tiga arah yang berbeda. Masing-masing bergerak semakin cepat susul menyusul seperti gelombang di lautan.

Tetapi Ki Gajah Tengara tetap saja mampu mempertahankan diri. Bahkan dengan kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya, Ki Gajah Tengara semakin mempersulit keadaan Sura Dengkek. Apalagi jika ia mengikat perintah Nyi Wora-wari Bang. Jika ia tidak berhasil, maka nasibnya akan menjadi sangat buruk. Bahkan tidak mustahil bahwa jika ia tidak berhasil menangkap dan mengikat Ki Gajah Tengara di belakang kudanya, maka dirinya akan menggantikannya. Diseret di belakang kuda Nyi Wora-wari Bang.

Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak memang tidak yakin, bahwa Sura Dengkek bersama kedua orang kawannya akan dapat menangkap Ki Gajah Tengara.

Karena itu, maka Wora-wari Bang itu pun kemudian berkata, “Aku tidak sabar lagi. Biarlah aku membunuh Gajah Tengara. Jika Gajah Tengara itu mati, maka yang lain pun akan segera mengalami nasib yang sama. Aku ingin membunuh setiap orang dari kelima belas raksasa itu”

“Bukankah kau akan mengikat Gajah Tengara itu di belakang kudamu?”

“Aku sekarang justru ingin membunuhnya dan membunuh yang lain”

“Lalu apa yang harus aku lakukan? Apakah aku akan tetap saja menjadi penonton?”

“Jika kau ingin juga membunuh, maka lakukan agar kerja kita cepat selesai”

“Bagus. Jika kau tidak berkeberatan, aku justru ingin membunuh Gajah Tengara. Beberapa tahun yang lalu, aku telah gagal melakukannya, karena ia lari masuk ke dalam pasar. Nah, sekarang aku mendapat kesempatan lagi”

Wora-wari Bang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas panjang sambil berkata, “Terserahlah kepadamu. Jika kau ingin melepaskan dendammu, lakukan. Aku akan membunuh yang lain. Agaknya senang sekali membunuh raksasa-raksasa dungu itu. Aku kemudian akan mendapat gelar Pembunuh Raksasa”

“Terimakasih” Alap-alap Perak pun tertawa sambil berkata, “Ternyata aku tidak akan pernah mendapat permainan yang menyenangkan seperti kali ini”

Kedua orang itu pun segera berloncatan turun dari kuda mereka dan menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon perdu di pinggir jalan.

Setapak-setapak keduanya melangkah mendekati arena pertempuran. Dari jarak yang agak jauh mereka sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi di depan bengkel para pande besi itu. Ternyata para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak itu juga tidak segera dapat menguasai lawan-lawan mereka.

“Iblis laknat” geram Wora-wari Bang, “anak-anak, di bagian belakang pasar itu juga memerlukan perhatian”

“Baik. Kita akan menyelesaikan raksasa-raksasa ini secepatnya. Kemudian kita akan membunuh para pande besi yang sombong itu”

Dengan geram Wora-wari Bang yang bengis itu pun kemudian segera memasuki arena pertempuran, sementara Alap-alap Perak pun menyusup dan menyibak mereka yang sedang bertempur itu.

Sejenak kemudian, maka Alap-alap Perak pun sudah berhadapan dengan Ki Gajah Tengara.

“Sudah waktunya sekarang, Gajah Tengara” berkata Alap-alap Perak.

“Waktunya apa?” bertanya Gajah Tengara.

“Waktunya mayatmu dilemparkan ke jalan di depan pasar ini untuk menjadi makanan burung-burung bangkai yang berterbangan itu”

“Aku harus mengakui kelebihanmu waktu itu, Alap-alap Perak. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan begitu saja menyerahkan kepalaku. Jika kau memaksakan pertempuran sekarang, maka aku akan berusaha untuk membunuhmu”

Alap-alap Perak itu tertawa berkepanjangan. Namun demikian Alap-alap Perak berhenti tertawa, orang-orang itu masih juga mendengar suara tertawa yang lain.

Mereka yang sempat, segera berpaling. Mereka melihat dua orang berdiri tidak jauh dari arena pertempuran. Pada saat Alap-alap Perak itu berhenti tertawa, maka keduanya pun tertawa berbareng. Seorang diantara mereka pun justru melangkah mendekati arena sambil berkata, “Aku tidak mengira, bahwa kita akan bertemu disisi, Alap-alap Perak”

“Mina” geram Alap-alap Perak. Jantungnya pun kemudian menjadi berdebar-debar.

“Bukankah perjumpaan kita terakhir terjadi setahun yang lalu, para saat kau datang ke padepokanku? Kalau tidak keliru waktu itu, kau juga datang bersama iblis betina itu. Nah, sekarang kita bertemu disini”

“Setan kau Mina. Seharusnya kau tidak usah turut campur”

“Aku tidak akan turut campur. Aku datang untuk mem-peringatkanmu, bahwa kita masih akan berjumpa lagi. Nah, tiba-tiba saja kita berjumpa lagi sekarang”

“Belum saatnya aku menjumpaimu Mina. Nanti, jika saatnya tiba, aku akan datang ke padepokanmu. Aku akan membunuhmu dan membunuh semua penghuni padepokanmu. Aku akan memiliki harta karun yang tertanam di bawah padepokanmu itu. Aku pun akan menguasai benda keramat yang dapat menjadikan semua benda yang lain menjadi emas itu”

“Jika demikian, sekarang pergilah. Kau dan Wora-wari Bang itu jangan mengganggu ketenangan hidup orang lain. Biarlah para cantrik dari perguruan-perguruan, yang lain menikmati kehidupan damai mereka?”

“Kau tidak berhak mencampuri persoalanku dengan perguruan Gajah Tengara”

“Kau berbicara tentang hak? Apakah yang kau lakukan itu juga berdasarkan atas hak?”

“Persetan. Pergilah. Jika kau tidak mau pergi, maka kaulah yang pertama-tama akan aku bunuh”

“Kenapa tidak kau lakukan jika kau mampu? Alap-alap Perak. Sekali lagi aku katakan, pergilah atau kau akan berhadapan dengan aku sekarang. Aku tidak akan sabar menunggu kedatanganmu di padepokanku setelah setahun lamanya. Adalah kebetulan bahwa kita telah bertemu disini. Nah, apalagi yang kita tunggu?”

“Ki Sanak“ Ki Gajah Tengara itu pun menyela, “persoalan ini memang persoalanku dengan Alap-alap Perak yang ingin merampas bukan saja besi baja, bahan yang akan kami jadikan senjata, tetapi mereka juga akan merampas tanah dan padepokan kami”

“Aku hargai sikapmu, Ki Gajah Tengara. Tetapi persoalan antara aku dan Alap-alap Perak itu sudah berlangsung sejak setahun yang lalu. Bahkan lebih dari itu. Karena itu, maka aku akan menyelesaikannya lebih dahulu. Jika aku gagal, maka terserah kepadamu. Selesaikan persoalanmu dengan Alap-alap Perak menurut caramu”

“Alap-alap Perak” terdengar suara Wora-wari Bang melengking. Lengking suaranya itu merupakan ciri bahwa kemarahannya sudah merambah sampai ke ubun-ubun, “bunuh saja Mina itu lebih dahulu. Aku akan membantumu”

“Kau tidak akan dapat membantunya Wora-wari Bang. Aku membawa kawan bermain bagimu sebelum kau mendapat gelar Pembunuh Raksasa. Murid Bungsu Ki Margawasana akan menghadapimu. Jika kalian berdua tidak mau pergi, maka kami berdua akan menghadapimu. Sementara itu, orang-orangmu ternyata tidak mampu mengalahkan para murid Ki Gajah Tengara”

“Jahanam kau Mina. Apakah para pande besi itu orang-orangmu sehingga berani melawan kami?”

“Bukan. Tetapi agaknya kau telah salah hitung. Kau kira bahwa tidak ada orang yang berani melawanmu. Ternyata para pande besi itu telah menempatkan diri di pihak perguruan Gajah Tengara. Dengan demikian, maka kalian telah mengalami kesulitan sehingga kalian berdua tergesa-gesa untuk tampil di arena”

“Cukup. Aku akan membunuhmu”

Tiba-tiba saja Alap-alap Perak itu telah menyerang Ki Udyana. Namun Ki Udyana pun telah siap menghadapinya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat mengelak sambil berkata lantang, “Ki Gajah Tengara. Hancurkan para pengikut Alap-alap Perak serta Wora-wari Bang. Biarlah orang berambut putih ini aku hadapi, sedang iblis betina yang liar itu akan dihadapi oleh murid bungsu Ki Margawasana”

Ki Gajah Tengara tidak menjawab. Ia pun segera bersiap untuk kembali menghadapi Sura Dengkek yang sempat beristirahat sejenak.

Bersama dengan dua orang kawannya. Sura Dengkek tidak menunggu lebih lama lagi. Ia segera tanggap akan keadaan. Alap-alap Perak itu tidak jadi turun berhadapan dengan Ki Gajah Tengara. Tetapi Alap-alap Perak itu akan berhadapan dengan orang yang disebutnya Mina itu.

Dalam pada itu, sambil bertempur, Ki Gajah Tengara sempat berkata kepada dirinya sendiri, “Jadi orang-orang ini adalah murid-murid Ki Margawasana”

Sementara itu raksasa yang telah menyeret Wikan dari bengkel para pande besi dan melemparkannya keluar regol pasar pun telah menyesali perbuatannya. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa murid Ki Margawasana telah berjongkok di depan bengkel pande besi itu. Justru pada saat para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak mengancam akan mengambil besi baja perguruannya.

Pada saat Alap-alap Perak mulai bertempur melawan Ki Mina, maka Wikan pun telah mendekati Wora-wari Bang sambil berkata, “Sebaiknya kau batalkan saja niatmu yang jahat itu. Kenapa kau demikian serakah untuk mengambil hak orang lain”

Kemarahan Wora-wari Bang telah membuat wajahnya pun menjadi merah seperti pakaiannya. Dengan geram ia pun berkata, “Kau anak kemarin sore sudah berani menantangku. Bukankah kau sudah pernah mendengar namaku?”

“Bukan hanya namamu. Setahun yang lalu kau pun pernah datang ke padepokanku. Tetapi kau tidak berdaya menghadapi bibi. Sekarang kau tidak lagi berhadapan dengan bibi, tetapi berhadapan dengan aku”

“Kematianmu sudah di ambang pintu. Sebutlah nama ayah dan ibumu. Mereka akan segera kehilangan anak laki-lakinya yang mungkin mereka sayangi”

“Kau sendiri akan menyebut nama siapa? Nama Alap-alap Perak atau siapa? Atau menyebut nama Ajag Wereng yang telah terbunuh setahun yang lalu?”

“Tutup mulutmu cah edan. Aku akan melumatkanmu”

Wikan tidak menjawab lagi. Ia sadar bahwa Wora-wari Bang adalah seorang perempuan yang bengis, licik tetapi juga berilmu tinggi. Karena itu, maka Wikan harus berhati-hati menghadapinya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Wikan dan Wora-wari Bang itu pun sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Wora-wari Bang ingin dengan cepat menyelesaikan lawannya yang masih terlalu muda itu.

Namun, meskipun Wikan masih terlalu muda, tetapi ia benar-benar sudah cukup matang menguasai ilmunya. Karena itu, maka ketika Wora-wari Bang itu menyerangnya,

Wikan pun telah siap menghadapinya.

Sejenak kemudian, maka Wikan dan Wora-wari Bang itu pun telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya saling menyerang dengan kemampuan mereka yang semakin tinggi.

Namun Wora-wari Bang itu akhirnya harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Wikan adalah anak muda yang berilmu tinggi.

Sebenarnya Wora-wari Bang sejak semula mengetahui bahwa anak muda itu berilmu tinggi. Tetapi kenyataan yang dihadapinya justru membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Wikan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari dugaannya.

Sementara itu Alap-alap Perak pun mengumpat sejadi-jadi ketika serangan Ki Udyana mulai menyeruak pertahanannya. Ketika tangan Ki Udyana mulai menyentuh dadanya, maka Alap-alap Perak pun semakin menyadari, bahwa Ki Udyana adalah orang yang berilmu sangat tinggi.

“Jika saja kami datang bersama Ki Sangga Geni” berkata Alap-alap Perak kepada diri sendiri.

Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Di depan bengkel para pande besi itu pun pertempuran menjadi semakin memuncak pula. Ternyata para pande besi, yang ternyata murid-murid dari perguruan Tapak Waja itu, semula tidak diperhitungkan oleh Wora-Wari Bang dan Alap-alap Perak. Namun ternyata bahwa keberadaan mereka di bengkel mereka untuk mempertahankan besi dan baja, bahan yang akan dibuat pedang itu, telah sangat mengganggu. Bahkan para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak itu mengalami kesulitan untuk menembus pertahanan murid-murid dari perguruan Tapak Waja itu.

Sedangkan Sura Dengkek dan kedua orang kawannya pun merasa sangat sulit untuk menguasai Ki Gajah Tengara. Raksasa yang rambutnya sudah diwarnai dengan beberapa lembar uban itu, ternyata masih merupakan seorang yang sangat garang.

Sedangkan raksasa-raksasa yang lain pun bertempur dengan garangnya pula. Tenaga dan kemampuan mereka sangat menyulitkan lawan-lawan mereka untuk mengatasinya. Raksasa-raksasa itu meskipun tubuhnya besar dan bahkan ada yang agak gemuk, namun mereka mampu bergerak dengan cepat.

Dengan demikian, maka para pengikut Wora-wari Bang dan Alap-alap Perak itu tidak segera menemukan lubang-lubang yang dapat ditembus. Bahkan semakin lama, raksasa-raksasa itu justru semakin mendesaknya.

-oo0dw0oo-

bersambung ke jilid 21

Karya : SH Mintardja

Sumber DJVU http ://gagakseta.wordpress.com/

Convert by : DewiKZ

Editor : Dino

Final Edit & Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/

http://ebook-dewikz.com/ http://kang-zusi.info

edit ulang untuk blog ini oleh Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar